25 | Guilt Complex

Começar do início
                                    

"Jangan sampai semuanya hilang," Jelas Zahra lagi. "Yang tersisa cuma egonya aja. Kalo udah begitu, namamu bahkan nggak ada harganya buat dia."

Zahra menghela napasnya. "Itu nasihatku, semoga apa yang aku pikir nggak beneran terjadi di rumah tangga kamu. Mungkin aku salah paham aja."

Jujur, kalau boleh Naqiya ingin sekali memeluk Zahra dan mengatakan yang sebenarnya. Zahra tidak salah paham dan tidak keliru atas apa yang ia tangkap antara hubungan Naqiya dan suaminya.

Naqiya benar-benar semena-mena dengan Bara.

Namun, sisi jahat dalam diri Naqiya berkata, dirinya tidak bersalah. Sebab Bara menidurinya dan itu pula alasan Bara harus bertanggung jawab mencarikan pil tersebut bukan?

Apakah harus Naqiya yang keluar mencari pil?

Sebelum Zahra beralih, tangan Naqiya menarik pergelangan tangannya sehingga menghambat langkah Zahra. "Kak Zahra..." Lirih Naqiya. "Tolong aku..."

Detik itu pula mata berlinang wanita muda itu dapat ia lihat lagi. Naqiya kembali meneteskan air mata karena segala kegundahan di hatinya benar-benar tak kuasa ia pecahkan sendiri.

Dengan cepat Zahra memeluk adik iparnya itu dan mengusap punggungnya, memberikan ketenangan. "It's okay, Nay, nggak papa, apapun aku lakuin selama aku bisa," Bisiknya.

"Kamu boleh cerita semua beban di hatimu ke aku, terserah, kamu pilih butuh aku sebagai kakak ipar atau psikolog, inshaAllah aku cukup profesional menjalani profesiku kok," Tambahnya. "Nggak akan aku katakan pada siapapun selama kamu nggak bersedia."

Tangis Naqiya tak terdengar sebab ia memeluk Zahra semakin erat. Astaga, ia menyayangi kakak ipar yang sudah ia anggap sebagai kakak perempuannya sendiri.

"Kalo sebagai kakak ipar, mungkin aku masih butuh berdiskusi sama Abangmu, biar dia sedikit banyak ngomong ke Bara juga," Jelasnya. "Laki-laki ke laki-laki lebih mudah dipahami."

"A—aku butuh Kak Zahra..." Suaranya terputus-putus oleh isakan yang tak bisa ia tahan. "...Se—hiks—sebagai seorang psikolog."

[ B A Y I D O S E N K U 2 ]

"Sejujurnya aku nggak tau, Kak, sama sekali nggak tau apa definisi perasaan aku ini," Jelas Naqiya yang duduk bersebelahan dengan kakak iparnya. Ia memposisikan dirinya sebagai pasien dan Zahra selaku sang psikolog.

Zahra mengangguk, "Nggak papa, orang sakit maag aja belum tentu bisa definisiin kalo asam lambungnya lagi naik," Jelas Zahra.

"Tapi aku takut disentuh Mas Bara, Kak," Gumamnya pelan. "Aku takut sama sentuhannya meskipun itu bukan ke arah intim."

"Sebelumnya aku mau tanya," Potong Zahra. "Bara pernah main kasar di ranjang yang bikin kamu ketakutan? Selain pertama kali kalian berhubungan."

Naqiya menggeleng tegas, Bara tentu tidak pernah melakukannya. "Aku bukan takut disakitin secara fisik, tapi aku takut menyesal lagi, Kak. Aku takut setelah berhubungan malah aku semakin merasa bersalah sama diriku sendiri."

Mata Naqiya fokus di satu sisi, seakan ia betul-betul sedang membuka sedalam-dalamnya isi hati yang ia miliki. Dan Zahra dengan profesionalismenya mengangguk merespon pasien spesialnya ini.

"Oke, menurut kamu, rasa bersalahmu ini hadirnya darimana dan kenapa?" Tanya Zahra dengan tutur yang begitu lembut. "Maksudku 'kan nggak mungkin tiba-tiba ngerasa bersalah tanpa penyebab, even itu pikiranmu sendiri."

Helaan napas Naqiya terdengar berat, "Mungkin Gaza, Kak. Aku uring-uringan banget ngeliat Gaza. Kadang gemes, kadang seneng, kadang sedih, kadang kasihan. Lebih banyak kasihan, Kak, kenapa bayi kaya dia harus lahir rahim ibu kaya aku?" Tanyanya.

Bayi Dosenku 2Onde histórias criam vida. Descubra agora