"Ya Fifty-Fifty sih, cuma kita kaum laki 'kan kepala rumah tangga, apapun keputusan di dalemnya harus ada diskusi dulu sama kepala," Jelasnya. "Berat emang, Bar, kalo susah komunikasi. Orang long distance marriage aman-aman aja walopun jauh asal komunikasi lancar."

"Beda sama pasangan yang deket tapi komunikasinya buruk banget," Tutur Aufar lagi. "Malah rawan bubar."

Bara terkekeh dengan apa yang Aufar katakan memang betul adanya. "Ya begitulah, Bang."

Tak lama, Zahra datang dengan nampan berisi kopi hangat yang suaminya inginkan. "Misi ya, Bar," Ucapnya sebelum meletakkan kopi hangat itu di atas meja.

"Makasih, Yang," Tutur Aufar sembari menyeruput kopi tersebut. "Uh enaknya buatan sayangku."

"Iya dong," Ucap Zahra. "Kapan lagi punya kedai kopi pribadi."

Aufar tertawa, meski sudah bertahun-tahun menjalani kehidupan pernikahan dengan Zahra, istrinya, perasaan pria itu tetap sama, bahkan melimpah setiap harinya. Begitu juga dengan perasaan Zahra pada sang suami.

"Kamu beneran nggak mau, Bar?" Tanya Zahra sekali lagi.

Tentu, yang ia peroleh adalah penolakan Bara. Pria itu masih tetap bertahan untuk tidak merepotkan istri kakak iparnya ini. Meskipun Zahra ini memang teman SMA nya, entah mengapa Bara tetap merasa sungkan.

Jejeran gigi Zahra nampak, "Yaudah kalo nggak mau, aku balik kamar dulu deh, semangat Pahmud alias papah muda jagain vila!" Ucap Zahra sebelum wanita itu kembali ke kamarnya.

Saat ini adalah giliran Bara untuk berjaga, sementara Aufar sudah lelap dalam tidurnya. Meskipun televisi masih bersuara dan berisik, nyatanya tidak membuat keduanya kuat menahan kantuk.

Sesaat setelah menyeruput kopi buatan istrinya, Aufar telap begitu saja. Benar berarti, tidak semua kopi mampu membantu menahan rasa kantuk.

Bara melirik jam di dinding yang jarumnya masih tampak berjarak dari waktu subuh, artinya Bara harus menahan kantuk lebih lama lagi malam ini.

Akhirnya, pria yang sudah mulai tak kuasa menahan kantuk itu berdiri dan melangkah ke dapur villa. Ia harus menyeduhkan kopi untuk dirinya sendiri apabila tidak ingin tertidur begitu saja seperti Aufar.

Tangannya cukup telaten untuk membuka wadah kopi dan menuangkan ke dalam cangkir. Sementara kini ia sibuk mencari letak gula yang entah ditaruh mana oleh Zahra tadi.

"Mas!"

Suara tertahan dari arah mulut dapur membuat Bara terlonjak dan hampir terbentuk pintu laci. Astaga, mengapa istrinya belum tidur juga.

Bara berbalik, "Kenapa, Sayang?" Tanyanya dengan lembut.

Benar, di sana Naqiya dengan baju piyamanya yang telah ganti melangkah ke arah Bara dan menarik tengkuk pria itu agar lekas menunduk. Ada sesuatu yang penting harus ia sampaikan pada Bara.

"Aku nggak bawa pil, Mas," Bisiknya dengan pipi memerah di bawah remangnya cahaya dapur.

Otak Bara agak lemot sedikit saat mendengar bisikan sang istri. "Maksudnya? Pil apa? Obat? Kamu sakit?" Tanyanya berturut-turut.

Decakan Naqiya terdengar, "Bukan, Mas Bara." Binar matanya menjadi sendu saat kegelisahan itu kembali hadir, "Kalo aku hamil lagi gimana?" Putusnya berterus terang.

Eh?

Astaga, Bara baru memahami maksud ucapan istrinya barusan. Maksud Naqiya perkara pil adalah pil kontrasepsi kehamilan alias pencegah kehamilan. Pria itu meringis dan menggaruk kepala belakangnya saat menyadari kebodohannya ini.

Bara menunduk agar telinganya dan telinga Naqiya berjarak deket, "Hamil lagi 'kan ada Papanya juga, apa yang salah?"

"Mas Bara ihh!" Gerutu Naqiya melempar lap bersih ke arah bahu suaminya. "Nggak lulus-lulus nanti aku! Gaza aja masih bayi gitu."

Bayi Dosenku 2Where stories live. Discover now