#4

374 47 0
                                    

***

Ini cuma pertandingan latihan, tapi beberapa orang di sudut lapangan ricuh berteriak saat bola terpental kesana kemari. Diopor dari satu kaki ke kaki yang lain. Berawal dari tendangan pelan, selanjutnya mengambil langkah cepat dan berlari mengiring bola ke gawang lawan. Riuh penonton semakin ramai saat bola tersebut bersama Grit. Benar, sebagian orang datang untuk melihat si Kapten.

Memang benar kalau ada yang bilang Grit lebih cantik di lapangan dari pada sehari-harinya. Rambut kucir kudanya bergoyang-goyang ketika ia berlari. Bahkan meski keringat mengucur dan membasahi anak rambutnya, Grit tetap tampak cantik.

"Gritte Ayanna !!!!!!!!!!"

Sorakan itu berasal dari Hadin, Kapten Putra di tengah tribun. Enok yang berada di samping sang tuan cuma meliriknya heran nggak heran. Karena selanjutnya disambut Enok yang tak kalah meriah. Dua orang itu membuat suasana yang tadinya sudah riuh semakin riuh lagi. Tak ada kekhawatiran di wajah Hadin sampai sang kekasih jatuh tersungkur ke lapangan. Tapi yang namanya Grit mana kenal rasa sakit. Ia cepat bangkit dengan senyum yang lebar, mengejar bola.

"Woyyyy pelanggaran!"

Teriakan kedua tidak mau kalah kencang.

"Edo masa nggak kartu kuning? Grit ampe jatoh tuh,"

Hadin sampe berteriak ke temannya di pinggir lapangan.

"Bang udah bang. Ini bukan lagi turnamen."

"Justru bukan turnamen, Nok. Masa ampe dorong-dorong begitu."

"Din udah lo dilihatin orang."

Pemuda itu langsung memperhatikan sekitarnya. Yang lain cuma diam walaupun sempat khawatir juga tapi Hadin sadar dia yang paling berlebihan. Jadi dia buru-buru balik duduk dan menutup mulutnya. Agak malu-maluin juga ternyata.

***

"Coba lihat tangannya,"

Usai Grit keluar lapangan, Hadin langsung menyusul gadis itu di ruang ganti. Mau turnamen apa nggak juga, Hadin pasti khawatir. 

"Nggak papa." jawab Grit tengah sibuk melepas sepatu futsalnya. "Cuma jatuh dikit doang."

"Tetap aja. Pasti luka."

Grit cepat menunjukkan sikunya yang ternyata lecet. Memang tak ada darah yang bercucuran, tapi luka itu cukup merah dan ada memar.

"Di rumah aja ngobatinnya."

Hadin mundur selangkah saat gadis itu bangkit dari duduk, menaruh sepatu di lokernya. Sekhawatir apa Hadin juga ujung-ujungnya dia cuma lihat Grit terluka tanpa diobatin. Sejauh itu bukan patah atau bercucuran darah, Hadin nggak maksa. 

"Eh menurut kamu aku ponian cakep nggak?"

"Mau potong poni?"

Langsung dilepasnya ikatan yang mengikat rambutnya itu. Disisirnya dengan tangan biar kembali tergerai. Dan di sana, Hadin jatuh cinta lagi. Tampilan wajah Grit habis mandi keringat dan rambutnya yang kini berantakan bisa-bisanya membuatnya makin cantik.

"Hadin,"

Laki-laki itu cepat mengerjapkan pandangannya. "Hmmm,"

"Denger nggak sih?"

"Denger, Sayang."

"Tapi diajak ngomong malah bengong."

"Kamu cantik banget soalnya. Aku pusing."

Grit ini aslinya salting brutal. Cuma memang anaknya ketimbang berterima kasih, dia lebih memilih untuk marah. "Apaan sih, orang lagi serius. Jawab dulu cakep apa nggak?"

THE CAPTAINSWhere stories live. Discover now