Bab.7 || Setumpuk Amarah Dan Seberkas Iri.

Start from the beginning
                                    

"Lo salah, Ru. Gue lebih kenal Galaksi daripada Galaksi sendiri. Lo nggak tau sepenting apa lo buat Galaksi."

°°°°

Sejak awal, Biru tahu kedatangan tak pernah mendapat sambutan baik dari Oma dan Reksa mengingat pertemuan pertama mereka kala itu.

Biru pun tidak berharap ia akan di terima dengan cepat. Bahkan Galaksi pun belum bisa sepenuhnya menerima hadirnya, sebab itu Biru yakin lambat laun Reksa dan Oma akan bisa menerimanya pelan-pelan.

Namun Biru tidak tahu jika taraf benci sang Oma padanya sudah sampai di titik yang bahkan menatap Biru pun terasa memuakan. Pun bagaimana Reksa yang menyimpan iri padanya yang begitu kentara dari bagaimana Reksa yang selalu menatapnya berapi-api.

"Oma, ini aku buatin teh buat Oma. Cocok sama cuaca mendung." Jemari mungil itu memangku secangkir teh panas yang masih mengepulkan asapnya. Ia sodorkan pada sang Oma yang tengah menikmati bacaannya di ruang keluarga.

"Saya nggak butuh dan nggak sudi menerima apapun pemberian tangan kotor kamu," Oma berucap tanya mengalihkan fokusnya dari majalah yang ia baca.

Kendati panas datang saat lisan sang Oma bertutur tajam, Biru masih sematkan senyum tulus yang tenggelamkan manik sabitnya.

"Tapi teh buatanku enak, lho. Kak Gala aja tiap pulang kerja selalu aku buatin kopi atau teh, dan selalu habis sama Kak Gala. Oma cobain dulu, siapa tahu Oma suka." tawar si mungil tanpa memadamkan asanya.

Namun bagaimana Oma bersikap setelahnya sukses melunturkan senyum yang sejak awal Biru pertahankan, juga asa yang perlahan padam tanpa sisa.

Sebab tepat setelahnya kalimat itu Biru perdengarkan, sang Oma langsung bangkit dan menepis tangan Biru hingga teh di tangan Biru tersebut tumpah membasahi telapak bocah itu sebelum jatuh dan membuat pecahan gelas berserakan di lantai.

"Kamu ini benar-benar nggak tahu diri, ya!"

Oma tudingkan jemari telunjuknya pada Biru yang tengah berjongkok memunguti pecahan gelas sembari meniupi telapak tangannya yang melepuh.

"Saya heran sama Galaksi. Entah dia terlalu baik atau justru bodoh sampai dia sudi menampung anak yang merusak keluarganya." Wanita tua itu kentara menyimpan emosi yang meluap-luap dari bagaimana api di matanya beriak-riak memancarkan benci pada Biru. "Kamu harus ingat posisi kamu di rumah ini. Kamu itu nggak lebih dari anak pembawa sial. Anak yang nggak seharusnya lahir ke dunia. Anak yang lahir dari perbuatan dosa."

"Kamu itu cuma kesalahan yang nggak seharusnya ada. Kamu bikin anak sama menantu saya berpisah sampai anak saya meninggal, cucu saya menjadi yatim piatu dan keluarga anak saya berantakan setalah kehadiran kamu. Kalau dulu ibumu setuju buat mengugurkan kamu, semua itu nggak akan terjadi."

Tajam kalimat yang sang Oma perdengarkan dengan nada tingginya mampu menciptakan goresan-goresan panjang di hati Biru.

Bocah mungil itu mendongkak, sepasang manik secoklat madu miliknya nampak berkaca-kaca dengan bibir bergetar yang coba tahan tangisnya sebisa mungkin.

"Kenapa Oma nyalahin aku terus. Aku nggak pernah mau di lahirin sebagai kesalahan. Aku juga nggak pernah minta Kak Galaksi buat datang dan bawa aku buat tinggal sama dia," tutur si mungil dengan suara yang ia buat senormal mungkin kendati ada buncahan tangis yang coba ia tahan mati-matian.

"Aku tahu posisi aku tanpa perlu Oma perjelas. Tapi apa salah kalau aku berusaha buat pantas di mata Oma." Biru tatap manik tajam sang Oma dengan maniknya yang berkaca-kaca siap menumpahkan dukanya.

Namun rupanya Biru lupa bahwa dinding yang sang Oma buat jauh lebih tinggi dari Galaksi.

Hingga Biru tidak menduga sang Oma akan dengan hati tega menginjak telapak tangannya hingga pecahan gelas yang berserakan itu ikut menembus kulit tangannya seiring kuatnya sepatu Oma menekan telapak mungilnya.

Rengkuh Sang BiruWhere stories live. Discover now