2. Mengundurkan Diri

10.2K 1K 20
                                    

Kalau suka ceritanya, jangan lupa vote di tiap bab ya! Klik bintang di pojok kanan atas (komputer) atau pojok kiri bawah (hape). Terima kasih, selamat membaca!

***

Kedua mata Theo terbelalak, tetapi beliau tetap berusaha tenang menanggapinya. Fiona masih dalam keadaan tidak stabil. "Apa kamu serius? Jangan mengambil keputusan saat sedang emosi."

"Serius, Pak. Maafkan saya." Fiona menatap mata atasannya itu lekat-lekat. Ia sudah membulatkan tekad.

"Pikirkan matang-matang sekali lagi," ucap Theo.

Fiona tidak mengubah keinginannya. Ia keluar dari ruangan atasannya itu dan mengirimkan surat pengunduran diri melalui surel, ditujukan pada Theodore selaku pimpinan dan Dea selaku manajernya. Betapa terkejutnya Dea ketika menerima surel tersebut.

"Fi, kamu serius?! Jangan resign, Fi!" seru Dea. Fiona menggeleng seraya menjawab, "Aku capek, Mbak Dea. Nanti aku serahkan sisa kerjaanku ke Mbak, ya."

Selama sebulan menunggu kepergiannya dari perusahaan tersebut, Fiona menyerahkan seluruh pekerjaan sisanya pada Dea dan beberapa karyawan lain yang terkait. Setiap hari, Dea berusaha mengubah keinginan Fiona, tetapi sia-sia. Fiona sendiri menjalani hari-hari terakhir kerjanya bagai mayat hidup. Ia datang ke kantor, mengutak-atik sebentar komputernya, lalu pulang dengan langkah gontai. Ia hanya memenuhi kewajiban sebagai pekerja yang ingin mengundurkan diri sesuai UU Ketenagakerjaan, yakni tetap masuk kerja selama tiga puluh hari terakhir.

Tibalah hari ini, tanda pengenal diri sebagai karyawati BXs Apparels telah Fiona tanggalkan dari leher, setelah satu bulan menunggu. Fiona mengemas seluruh barang-barang pribadi yang tersisa di meja cubicle-nya. Theodore tampak tak rela kehilangan Fiona. Pria beruban tersebut datang menghampiri meja gadis itu dan memberikan sepucuk surat.

"Ini surat rekomendasi kerja yang sudah saya tulis untuk kamu." Theo menyodorkan secarik amplop putih pada Fiona. Gadis itu terkejut. Seharusnya, ia mengambil sendiri surat tersebut di ruangan Theo, bukan si bos yang malah datang ke mejanya.

"Terima kasih, Pak ... ." Fiona memandangi amplop di tangannya. Surat rekomendasi kerja dari perusahaan sekelas BX Apparels akan membuatnya diterima oleh banyak pekerjaan lain. Meski begitu, Fiona tidak yakin kalau dia ingin bekerja lagi secepat itu.

Theo menepuk pundak Fiona dan berkata, "Istirahatlah. Tapi, yang perlu kamu ingat, kamu adalah salah satu karyawati terbaik kami. Perusahaan ini akan selalu membuka pintunya untuk kamu."

Dea yang duduk di meja cubicle sebelah menghampiri Fiona dan memeluk sembari menangis. "Sering-sering kontak, ya, Fi!"

"Iya, Mbak ... ."

Fiona tidak tahu harus membalas apa kebaikan dari Theo dan Dea. Ia banyak termenung, menghabiskan sisa-sisa jam terakhirnya di kantor. Selama ini, ia berjuang untuk bisa menafkahi neneknya, agar mereka dapat hidup layak. Fiona telah berhasil mencicil lunas sebuah unit apartemen studio murah di pinggir kota. Memang bukan rumah yang memiliki halaman luas seperti tempat tinggalnya waktu kecil dulu, tetapi tetaplah layak untuk bisa memiliki tempat tinggal sendiri dan bukan kontrak. Fiona juga merancang kebun mini di beranda apartemennya, agar sang nenek punya kegiatan lain di kamar selain bersih-bersih dan memasak.

Fiona lupa, kalau neneknya terbiasa dengan udara bersih di desa. Mungkin sejak awal Fiona mengajak tinggal di kota, neneknya selalu menahan sesak, tetapi tidak pernah diberitahukan pada cucunya. Lalu, dalam satu tahun terakhir ini, sudah terjadi dua kali serangan asma hebat yang membuat beliau harus opname. Yang ketiga, ketika sang nenek mengembus napas terakhir di usianya yang sudah 80 tahun.

Fiona tahu, neneknya tidak mungkin hidup selamanya. Namun, yang gadis itu sesali, neneknya tiada dalam keadaan tersiksa, justru saat Fiona sedang ada meeting di luar kantor. Fiona mendapati tubuh neneknya telah terbujur kaku di tempat tidur, sembari tersenyum. Seolah beliau sendiri juga sudah pasrah. Betapa teriakan histeris Fiona memenuhi seluruh koridor apartemen kala melihat sang nenek untuk yang terakhir kali, terbaring tak berdaya di dapur. Mungkin, dalam detik-detik terakhirnya, sang nenek meronta minta tolong, memanggil-manggil cucunya yang tengah sibuk bekerja.

Kini, Fiona merasa sangat terpukul. Jelas ia bersalah, karena telah membuat neneknya menderita, meski berkali-kali sudah dikatakan oleh beliau saat opname dulu, kalau itu bukan kesalahannya. Akan tetapi, ada suara menggema dalam pikiran Fiona berkata, "Aku yang salah. Aku yang salah ... ."

Fiona membawa semua barang-barang pribadinya dalam satu boks yang dia angkut sendiri. Selain Theo dan Dea, tidak ada orang lain lagi yang mengantar kepergiannya. Fiona terlalu sibuk bekerja. Setiap hari kedua matanya serasa menempel pada layar, membuatnya tidak sempat untuk bersosialisasi dengan siapa pun. Kehadiran neneknya adalah sebagai tempat pulang bagi Fiona. Namun sekarang, tempat pulang itu sudah tidak ada, meski saat ini ia tetap melangkah menuju apartemennya.

Fiona berjalan lemas menuju unit apartemen yang terletak di lantai tiga. Jaraknya tak jauh dari lift sebelah kiri, nomor 303. Fiona jadi ingat kegiatan neneknya sehari-hari, yakni merawat kebun mini, memasak, dan menonton televisi. Tak jarang juga, neneknya penasaran dengan barang-barang yang ada di online marketplace dalam gawai yang Fiona belikan. Dengan sabar, Fiona mengajari wanita sepuh tersebut cara membelinya.

Sering tiba-tiba ada kotak paket di depan pintu masuk, entah apa isinya, ditujukan untuk neneknya itu. Beliau suka berbelanja barang-barang yang menarik perhatian, entah itu aksesori atau sekadar keperluan dapur. Fiona sering mengingatkan kalau pesan barang secara daring, harus sering-sering mengecek pintu keesokan harinya, barangkali paketnya sudah tiba. Akan tetapi, wanita tua itu sering lupa.

Hari ini seharusnya tidak ada paket apa pun, karena yang sering berbelanja sudah tiada. Seharusnya begitu.

Namun, saat ini, Fiona melihat ada kotak kecil hitam seukuran dua kali telapak tangan, berada di depan pintu unit apartemennya, menunggu untuk dibawa masuk.

"Paket untuk siapa ini?" tanya Fiona lirih. Gadis itu mengambil kotak tersebut dan membawanya ke dalam apartemennya.

Fiona meletakkan kotak hitam itu di atas meja, beserta boks dari kantor dan tas kerjanya. Fiona memeriksa kotak tersebut, membolak-baliknya, dan mendapati nama 'Fiona Adiwijaya', lengkap dengan nomor unit apartemen dan telepon yang tertera di bagian penerima. Di sisi belakang kotak tersebut, ada nama pengirim yang benar-benar asing bagi Fiona, yakni Isekai Group.

"Nama penerimanya benar untukku. Apa Eyang yang pesan dari seminggu lalu? Tapi ...," Fiona membaca nama pengirim sekali lagi. "Isekai Group? Perusahaan apa itu?"

Fiona beranjak ke dapur untuk mengambil gunting. Ia segera membelah plastik bubble warp bening yang membungkus kotak tersebut. Apa di dalamnya barang pecah belah, sampai harus dibungkus bubble?

Pertanyaan Fiona dalam hati terjawab cepat, saat ia membuka penutup kotak tersebut. Bukan barang pecah belah seperti yang ia duga sebelumnya, tetapi sepertinya sangat dijaga dengan khusus, karena dibungkus berlapis-lapis.

Di dalam kotak tersebut, ada satu kantung kertas kecil yang berisi empat biji kluwek. Empat saja, tidak lebih. Fiona makin mengernyit.

"Untuk apa Eyang memesan biji kluwek cuma empat begini?"

***

Baca lebih cepat di Karyakarsa.com/ryby dengan harga hanya Rp. 1000/bab! Di sana sudah TAMAT + 1 Extra ch yang tidak ada di Wattpad! Tanpa download, tanpa apk, tanpa jeda iklan, dan babnya lebih cepat tayang!

 1000/bab! Di sana sudah TAMAT + 1 Extra ch yang tidak ada di Wattpad! Tanpa download, tanpa apk, tanpa jeda iklan, dan babnya lebih cepat tayang!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kedai Rawon di Isekai (TAMAT - Republish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang