18A | Peluh Terbasuh

Začít od začátku
                                    

Lihat, betapa sempurnanya ia menjadi imam bukan? Betapa sempurna Bara memainkan peran sebagai nahkoda pernikahan mereka.

Kembali di malam dingin dengan remangnya lampu tidur menyinari wajah Bara yang mendongak menatap sang istri. Menunggu jawaban yang akan keluar dari ranumnya bibir itu.

Bibir candu, tak bisa sedetik saja gagal menggoda pria macam Bara.

Tangan Naqiya bergerak, merambat naik perlahan ke rahang tegas suaminya. "Nggak ada yang kurang dari Mas nahkoda," Jawabnya. "Semua kekurangan itu ada di Mbak awak kapalnya."

"Oke," Jawab Bara, "Sekarang Mas nahkoda mesti tau, kekurangan apa yang Mbak awak punya?" Tanyanya seperti tak kenal lelah dengan sikap Naqiya.

Naqiya tersenyum sebelum kepalanya menunduk, memberikan kecupan malam pada bibir suaminya. "Udah malam, yuk bobo, Mas," Ajaknya pada Bara. "Gaza udah lelap banget."

Tentu, ajakan itu ditolak Bara. Dia belum mendapat apa yang ia inginkan, ya jawaban langsung dari Naqiya.

"Apa susahnya jawab Mas sih, Sayang?" Tanyanya dengan bisikan agar tidak mengganggu tidur bayinya. "Mas nggak akan gigit kamu."

"Mas kalo tanya begitu, aku juga nggak tau jawabannya. Aku bahkan nggak tau ada apa sama diriku sendiri. Aku ngerasa nggak normal, tapi aku juga nggak punya kekuatan buat nyingkirin pikiran ini," Desis Naqiya yang juga tak ingin mengganggu tidur Gaza.

Bara kali ini tertegun. Naqiya terdengar sudah menggunakan emosinya.

"Please, Mas. Jangan paksa aku, aku capek banget mau istirahat," Tutur istrinya lagi sebelum menyibak rambut.

Memiliki istri yang jauh lebih muda daripadanya memang bukan hal yang mudah. Perkara emosi yang kadang labil juga bukan kesalahan Naqiya. Menikahi dan mencintainya, artinya Bara sudah harus siap dengan semua itu.

Bara berdiri dengan perasaan kecewanya. Entah sikap apalagi yang harus dirinya ambil sebagai nahkoda kapal pernikahan mereka. Entah bagaimana perjalanannya di tengah ombang-ambing ombak laut dengan awak kapal yang tidak kooperatif.

"Yaudah tidur aja," Jawab Bara singkat. Sepertinya emosinya mulai terpancing dengan sikap Naqiya. Pria itu berjingkat sebelum mengecup kening istrinya. "Mas cari angin dulu."

"Kemana?" Tanya Naqiya. Bagaimanapun, Bara adalah suaminya 'kan? Ia berhak mengetahui itu. "Jangan jauh-jauh, nanti keluargaku curiga sama kita."

Bara menghentikan langkahnya, tanpa Naqiya ketahui, keabnormalan hubungannya sudah diketahui oleh Aufar, Kakaknya sendiri.

"Ke luar sebentar," Jawabnya sebelum tangannya meraih handle pintu. "Assalamu'alaikum."

Sesaat setelah pintu itu tertutup barulah Naqiya menjawab salam suaminya. Dihela napas panjang, demi Tuhan, dirinya juga merasa lelah dengan ini semua. Naqiya juga ingin menjadi normal lagi.

Tapi entah bagaimana caranya ia tak tahu. Bahkan ia tak mengerti sebetulnya apa yang terjadi pada psikisnya sendiri.

"Papa kayanya marah sama Mama deh, Nak," Bisik Naqiya pelan sebelum ia merebahkan tubuh di sebelah Gaza.

Rasa kantuk itu nyata, membuat Naqiya tanpa sadar terlelap di sebelah bayinya. Namun, pergerakan kecil dari Gaza pun berhasil membangunkan ibu kandungnya itu.

Matanya mengerjap, sedikit terduduk untuk melihat apakah Bara sudah masuk kamar atau belum.

Kosong.

Bara belum juga kembali ke kamar padahal jam di ponselnya menunjukkan waktu tengah malam. Astaga, kemana perginya pria itu?

Bayi Dosenku 2Kde žijí příběhy. Začni objevovat