Arumi

15 3 2
                                    

Kupikir, langit yang cerah di atas sana tetap selamanya akan cerah meski kadang-kadang untuk beberapa saat berubah mendung.

Aku termasuk orang-orang pragmatis yang tidak suka mempersulit isi kepalaku. Jadi, aku cenderung mencari cara mudah agar semua tujuan-tujuan yang kupunya tercapai.

Hidup ini apa, sih? Hanya tentang bernapas lalu melewati hari demi harinya saja, kan? Itu pikiranku tadinya, saat semua hal dalam hidupku masih stagnan dan terasa monoton. Sekarang, semuanya banyak berubah, bahkan kurasa aku mulai kehilangan arah saking kuatnya gravitasi perubahan menarikku pergi.

Kesempurnaan adalah salah satu kata yang selalu dikejar oleh setiap orang. Aku mengerti betul tentang yang satu itu karena orang-orang di sekelilingku menetapkan kesempurnaan untuk tolak ukur hidup mereka. Saking seringnya aku mendengar bualan-bualan akan kesempurnaan itu, aku sampai muak sendiri dan ingin mencopot kedua telingaku saja rasanya. Namun, selama ini setelah kupikir-pikir aku hanya kelewat hipokrit saja. Sebab, pada kenyataannya aku juga menetapkan standar kesempurnaan yang begitu tinggi untuk hidupku sendiri.

Huh, sungguh tabiat manusia sekali. Sama sekali masih tidak bisa kumengerti hingga saat ini padahal aku adalah manusia itu sendiri.

Memasuki usia dua puluhan di negara yang menganut sistem patriarki ketat meski katanya sudah melakukan emansipasi wanita ini, aku seolah-olah dipaksa untuk membenamkan diri ke dalam dunia romantisme memuakkan yang memikirkannya saja membuat otakku langsung berorasi menyorakkan mosi tidak percaya pendengaran.

Ada banyak sekali tudingan penuh prasangka yang akan orang-orang sepertiku terima jika di usia yang katanya kelewat matang tersebut sama sekali tidak pernah menyentuh bidang romantisme. Aku heran sekali, bahkan hingga saat ini. Kenapa bidang romantisme seolah-olah menjadi suatu keharusan mutlak yang harus semua orang jajal dari pada meningkatkan kualitas diri. Jadi, berhubung aku hanya individu fana yang bisa mati kapan saja dihajar masa jika mencoba menentang dengan suara kecilku ini, aku hanya bisa memasang cengiran kuda sembari membuang wajah malas ke sisi lain.

"Mau kukenalkan pada seseorang tidak? Dia dokter residen tahun kedua, tampan, kaya, dan sedang mencari seorang wanita untuk dijadikan pendampingnya. Kalau kau menikah dengan dia, kujamin hidupmu sejahtera," ujar temanku, Nana, pada suatu hari di tengah teriknya panas.

Kalimatnya terdengar lebih panas dari cuaca hari itu. Dan aku masih saja bingung kenapa Nana tidak jemu-jemunya menawarkan banyak laki-laki kepadaku seperti pedagang telur puyuh di lampu merah atau sales panci aluminium palsu yang mudah karatan.

"Tidak, makasih. Aku sudah menikah dengan kebun-kebun buahku," balasku setelahnya sembari menenggak air dari botol yang kubawa.

Bagiku, makhluk yang bernama laki-laki itu tampak begitu abstrak dan abu-abu (baca: aneh). Bukan karena aku tidak mencintai diriku sendiri atau menjadi pembenci laki-laki. Hanya saja menurut penelitian, laki-laki itu adalah makhluk visual yang mana tidak akan pernah menyukai orang sepertiku. Tidak, bukan maksudku menghina diriku sendiri.

Aku cantik, tentu saja. Namun hanya tidak sesuai saja dengan standar kecantikan di lingkunganku.

Menurutku, tidak akan ada laki-laki yang sesempurna tokoh karanganku. Cerdas, berwawasan luas, memperlakukanku dengan baik dan penuh kasih, bisa kujadikan teman berdiskusi dan membahas apa pun, tidak membuatku tampak bodoh, dan menatapku dengan penuh pengertian.

Sudah kubilang aku menetapkan standar kesempurnaan yang begitu tinggi untuk hidupku sendiri. Maka selama ini bukan berarti aku tidak ingin terlibat dalam romantisme, hanya saja aku belum menemukan seseorang yang sesuai dengan takarirku sendiri. Hingga, di tengah lapangan yang luasnya melebihi kapasitas otak para pendebat kusir di kolom komentar teori bumi datar, reinkarnasi, dunia paralel, atau teologi, aku menemukan dia bersama aura kesempurnaannya berdiri di antara manusia-manusia kelewat biasa lainnya.

Dia tetap bersinar meski di kelilingi oleh orang-orang aneh bermulut besar. Dia selalu punya senyum manis yang melunakkan kepala kerasku ketika berbicara dan mengatakan sesuatu. Caranya bertutur kata, gerak tubuhnya, caranya menatap sekitar, dan caranya mendeskripsikan dirinya sendiri tidak membutuhkan banyak waktu untuk membuatku jatuh ke dalam kata yang kelewat hiperbolis bernama cinta.

Ah, sialan.

Beberapa saat setelahnya tentu saja aku mulai menyumpah. Kenapa pula aku harus bertemu dengan dia? Anehnya, setelah bertemu dengan standar yang kutetapkan sendiri, aku malah merasa tidak pantas diri dan kehilangan semua jumawa yang kupunya. Sebab ... dia tak bisa kumiliki.

AsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang