-2- Aku... Tidak Terlihat?!

16 9 17
                                    


"Rasanya, sulit untuk menerima fakta berupa pil sepahit ini. Akan tetapi, aku harus ikhlas akan fakta itu dan menelan pil itu. Bagaimana lagi, aku... sudah tidak berdaya:)"

-Yara

-☆-

Langit mulai mendung, awan gelap mulai datang bergerombol memenuhi langit dan angin berhembus lebih kencang. Beberapa daun-daun yang sudah kering terbang terbawa hembusannya. Beberapa pohon cemara yang berada di dekat rumah-rumah penduduk desa tampak bergoyang mengikuti arus semilir angin.

Baiklah. Sekarang, aku akan pergi ke mana?

Setelah ke luar dari rumah berlantai 2 tadi, aku memutuskan untuk berjalan menyusuri desa ini lebih dalam lagi. Dan di sinilah aku, kembali ke rumah berlantai 2 tadi. Aku sudah berkeliling, dan tidak menemukan petunjuk apapun mengenai desa ini mau pun diriku sendiri. Ada beberapa bangunan yang dapat kumasuki. Akan tetapi, tidak ada hal spesial di dalamnya. Ada beberapa bangunan lainnya yang terlihat kokoh dan dapat aku masuki. Tapi, karena banyaknya tanaman merambat yang menghiasi setiap sudut rumah, membuatku enggan memasukinya.

Aku duduk di lantai teras, merenungi nasibku sendiri sambil menatap ke arah langit yang mendung.

"Aduh!... kenapa aku sebodoh ini, sampai-sampai ikut-ikutan dengan kalian ke desa ini?!"

Aku menoleh ke arah sumber suara. Ada 2 perempuan berbaju kasual dan menyandang tas salempang, beserta kamera. Lalu, ada seorang pemuda yang memakai jaket hitam dan menyandang tas, di tangannya terdapat ponsel.

Penampilan mereka tampak tidak biasa dan mencolok di tengah-tengah desa yang terbengkalai ini. Apakah mereka pendatang? Tapi, untuk apa mereka datang ke sini?

"Hah!..." pemuda itu menghela napasnya lelah, dan memijit pelipisnya dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menggenggam ponsel miliknya. "Sudahlah, Wyl! Kamu tidak perlu terus menggerutu tidak jelas seperti itu. Umurmu sudah 24 tahun. Tapi sikapmu masih kekanak-kanakan saja."

"Memangnya, apalagi yang bisa aku lakukan sekarang?!" balas perempuan yang bernama Wyl. Ia menghentakkan kaki kanannya dan berhenti. Membuat kedua temannya juga ikut berhenti dan menoleh padanya.

"Xie! Kenapa kamu tetap mau mengambil kasus ini, sih?! Kamu tidak tahu bahaya apa yang sedang menanti kita?" protes Wyl masih menggerutu pada temannya yang bernama Xie.

"Em... yah, karena tidak ada yang mau mengambil kasus ini, Wyl. Lagipula, kata mereka di sebelah Utara dari desa ini, terdapat hutan tempat tinggalnya Monster Grougon." Xie menggaruki bagian belakang lehernya dengan jari telunjuknya.

"Nah! Itu kamu tahu!!" Wyl menunjuk Xie dengan tangan kanannya. "Lalu, kenapa kamu mau mengambil kasus ini? Jelaskan!" Sekarang, Wyl melipat kedua tangannya di depan dada dengan ekspresi wajah datar-- seperti dosen killer yang menanti tugas dari Xie saja.

"Ayolah, Wyl!... memang apa salahnya?" ucap Xie berusaha membujuk temannya itu. "Atau malah sebaliknya, kamu tidak mengetahui kisah tentang Monster Grougon?" Xie bertanya kembali kepada Wyl.

"Hah, astaga... tidak tahu apanya? Dulu, saat aku masih kecil. Ibuku selalu menceritakan monster itu kepadaku. Saking seringnya aku mendengar cerita itu, aku menjadi kesal. Kenapa harus cerita itu yang terus diulang-ulang?!" celetuk Wyl dengan ekspresi kesal.

"Sudahlah, Wyl! Bersikaplah dewasa untuk kali ini saja. Jika kita terus menerus membuat keributan, malah akan meningkatkan resiko bahaya itu sendiri. Ayo, kita teruskan perjalanan kita," ujar pemuda itu dengan nada tegas dan memimpin jalan.

Who's Me? (END)Where stories live. Discover now