"Kami sudah selesai."
"Baiklah. Apakah saya perlu mengantarkan Tuan Muda ke kamarnya?"
"Tidak. Ini masih terlalu awal untuk tidur. Aku akan mengajaknya ke ruang utama."
"Ba-ik, Nyonya."
Emi merasa terlalu banyak perubahan dengan sikap nyonyanya, tapi dia tidak berpikir banyak karena merasa itu agak lancang.
"Maukah kamu ikut denganku?"
Renae meniti tatapannya. Setelah mendapati jawaban, dia berjalan lebih dulu. Sesuai dugaan, dia mengikuti di belakangnya.
Saat tiba di ruang utama, tidak ada apa-apa di sana. Bahkan, televisi pun tidak ada. Dia lupa, barang yang tidak di perlukan tidak akan ada di rumah ini, apalagi akan mempengaruhi kondisi Ray. Pikirannya berubah, dia segera berbalik.
"Maaf, Ray. Aku lupa sesuatu. Maukah kamu kembali ke kamarmu? Aku akan mengantarnya."
Dia terlihat enggan, dan Reane langsung mengerti. Dia bingung harus melakukan apa. Terpikir sesuatu, dia berkata. "Bolehkah aku mengunjungi kamarmu untuk membaca buku?"
Reane merasa pertanyaan ini sama saja, namun tak terduga Ray mengangguk. Dia tersenyum lebar. "Kalau begitu, ayo kita ke sana."
Keduanya berjalan, dan Reane membiarkan Ray mendahuluinya. Namun dia berjalan sangat lambat, sehingga keduanya tanpa sadar berjalan berdampingan.
Seperti biasa, sunyi. Mereka melewati setiap ruangan kosong dengan cahaya agak redup. Reane merasa, rumah ini cocok untuk film horor. Sepertinya, dia harus mengajukan pendapat kepada kepala pelayan untuk menerangi semua ruangan lebih terang.
Sampai tiba, Ray membuka pintu kamarnya sendiri. Gelap, itulah kata yang terwakili saat pintu terbuka. Ray masuk duluan dan lenyap dalam kegelapan. Reane langsung merinding.
Sebelum masuk, dia berkata. "Ray ... Kamarmu terlalu gelap. Bisakah kamu menyalakan lampunya terlebih dahulu?"
Tidak ada jawaban. Reane menjulurkan kepala ke dalam ruangan gelap itu, namun tidak ada yang bisa ia tangkap oleh pandangannya. "Eum ... kalau begitu, biar besok saja aku mengunjungi kamarmu. Aku akan kem--"
Ruangan terang seketika. Reane tersenyum lega, dan dia masuk lebih berani. Walaupun cahaya lampu agak redup, namun Reane bisa dengan jelas melihat tata letak dan sudut setiap kamar Ray.
Luas dan kosong. Itulah pendapat Reane. Hanya ada sebuah tempat tidur besar bernuansa abu-abu hangat, dua rak yang di penuhi buku, lalu satu lemari di sudut ruangan, satu sofa tunggal, meja dan kursi biasa. Barang-barang itu tidak cukup memenuhi luasnya kamar ini.
Mengamati dengan teliti kamar Ray, Reane baru sadar penghuninya tidak terlihat.
Tuk.
Reane menoleh ke sumber suara, dan tidak tahu kapan Ray ada di belakangnya tengah menutup pintu. Jantung Reane melonjak tanpa sadar. "Kenapa kamu menutup pintunya ....."
Berusaha tenang dan berpikir positif, dia berjalan ke arah rak buku. Berniat meminta izin, dia menoleh ke arah Ray yang masih terdiam bersandar di pintu menatapnya.
Kenapa dia sulit mengerti tatapannya? Padahal sebelumnya sangat mudah Reane artikan. Dia tersenyum kaku. "Bolehkan aku mengambil salah-satu bukumu?"
Masih tak mengerti, tetapi Reane menganggapnya setuju. Di mengulurkan tangan ke salah satu buku yang tertata rapi itu. Buku berwarna abu usang dengan judul 'mengatasi skizofrenia' langsung menarik Reane. Dia mengambilnya tanpa ragu.
Tidak mengherankan buku sepeti ini ada di kamar Ray. Hampir setiap buku di rak itu, berhubungan dengan masalah mental. Sesuatu seperti ini sangat penting untuk Reane yang ingin belajar lebih dalam.
Reane duduk di sofa yang tersedia. Dia menyadari bahwa Ray masih di posisi yang sama. Reane tersenyum. "Jangan menatapku. Apakah kamu tidak mengantuk? Aku akan menemanimu di sini sampai kamu tertidur."
Dia tergerak. Dan segera berjalan ke tempat tidurnya merebahkan diri. Reane terkejut karena dia sangat patuh. Sebelum buku itu terbuka, Reane mendapati bahwa tempat tidurnya tidak terdapat selimut. Dia berdiri dan mencari letak benda itu.
Saat tatapannya tertuju pada lemari, dia meminta izin terlebih dahulu. "Apakah selimutmu ada di lemari itu? Aku akan membuka untuk mencarinya."
Dia menatapnya dengan kedipan mata. Reane langsung berjalan dan membuka lemari itu. Hanya dua ruang yang di penuhi pakaian, di bawahnya kosong. Lalu, baju formal dan jas tergantung di sebelahnya lagi. Melihat ke bawah, ada sebuah selimut tebal. Dia langsung mengambilnya dan menutup lemarinya kembali.
Pria itu masih terbaring dengan mata terbuka menatapnya. Reane mendekat dan menyelimuti hampir seluruh tubuhnya.
Aroma stroberi tercium lagi. Saat selimut itu mencapai dadanya, Ray bisa melihat lebih jelas wajah Reane dari dekat. Tatapannya, senyumannya, bahkan suaranya teramat lembut.
"Kamu akan kedinginan jika tidur tanpa selimut. Tidurlah yang nyenyak, aku akan menemanimu di sini sebentar lagi."
"Selamat malam." Reane berbalik.
Itu memberikan rasa aman yang sangat jarang untuknya. Ray menatapnya punggung kecilnya yang menjauh, lalu dia duduk di sofa dengan buku di tangannya. Dia menatap wajah seriusnya saat membaca, rasa kantuk berangsur-angsur datang.
Dia sangat jarang tidur, tapi mengapa saat ini terasa sangat nyaman, hangat dan mengantuk ...
Apakah karena kehadiran dia ....
***
Tbc
20.57
20 Agustus 2022
YOU ARE READING
Dependency ✓ [Sudah Terbit]
Romance17 tahun Leane hidup di ranjang rumah sakit tanpa mengenal dunia luar. Setiap hari, ia hanya tahu rasa sakit karena keadaan tubuhnya yang lemah. Pada akhirnya, ia mati dengan damai tanpa pernah merasakan apa itu kebahagiaan. Bangun di tubuh dan temp...
5. Dependency 🌷
Start from the beginning
![Dependency ✓ [Sudah Terbit]](https://img.wattpad.com/cover/315356737-64-k470748.jpg)