5. Dependency 🌷

Start from the beginning
                                        

Ray menoleh dengan mata mengerjap. Ada krim di kedua ujung bibirnya. Reane tersenyum geli. Dia mengambil tisu yang tersedia, dan menggeser kursi yang di dudukinya lebih dekat ke sisi Ray. Saat tadi berdiri, tentu saja dia lebih tinggi, namun saat duduk pun, Ray tetap lebih tinggi darinya.

"Ada krim di bibirmu." Reane menyodorkan tisu itu.

Ray menatap tisu, lalu menatap wajah Reane penuh kebingungan. Paling lucu adalah matanya yang polos saat mengerjap. Reane tidak kuat melihat kelucuannya, dia memberi isyarat dengan menunjuk bibirnya sendiri, namun tatapan Ray malah terpaku pada bibirnya.

Reane tersipu. Dia akhirnya menyerah dan menggeser lebih dekat. Dia mengulurkan tangan menghapus krim di ujung bibir Ray. Tak terduga akan sentuhannya, dia mundur panik hingga berdiri tanpa sadar.

Reane tersenyum maklum. "Tidak apa-apa. Aku hanya menyeka krimnya. Kamu bisa tenang."

Atas suara lembutnya, tanpa sadar Ray duduk kembali membiarkan Reane menyeka walaupun tubuhnya selalu tegang. Walaupun menggunakan tisu, Ray bisa merasakan jari lembut gadis itu menyentuh kulit bibirnya sesekali.

"Sudah."

Sentuhannya hilang, dan itu membuatnya kosong tanpa sadar. Sepertinya terpikir sesuatu olehnya, dia menatap piring itu yang ternyata sudah kosong, ekspresinya langsung kusut.

Reane yang sedari awal memerhatikan, langsung mengerti. "Apakah kamu ingin memakan kuenya lagi?"

Dia mengangguk langsung.

Reane senang seolah telah mencapai sesuatu. Dia langsung beridri dan menjangkau kue stroberi itu. Memotong menjadi bagian seukuran kepalan tangan, dia meletakkan di piring Ray. "Segini saja, oke? Jangan terlalu banyak memakan yang manis."

Ray menatap seolah tidak mengerti maksudnya. Namun, atensinya teralihkan saat kue itu sudah ada di hadapannya. Dia memakannya dengan rakus, entah sengaja tau tidak, krim merah muda itu semakin belepotan di sekitar mulutnya.

"Hei, pelan-pelan," tegur Reane. Dia mengambil dua tisu lagi berniat akan menyekanya, namun menunggu kue itu habis.

Seakan-akan menunggu, dia menghadap Reane setelah kuenya di lahap habis. Renae merasa sedikit tidak berdaya akan perilakunya. Dia mendekat dan mengulurkan tangan.

"Kamu harus pelan-pelan. Lihat, banyak krim di sekitar mulutmu," katanya sembari menyekanya dengan lembut.

Kali ini, dia tidak menghindari sentuhannya. Tatapan Ray tertuju pada wajah gadis itu dari jarak dekat membiarkannya menyeka. Tisu sudah kotor oleh krim, dan Reane sulit menjangkau untuk mengambil yang baru, jadi dia menggunakan ibu jarinya untuk menyeka krim sedikit lagi.

Tepat saat menyentuhnya, bibir tipis pria itu tiba-tiba terbuka, lalu lidah terjulur menjilat ujung ibu jarinya yang terdapat krim. Mata Reane melebar saat merasakan benda hangat dan basah itu menyapu jarinya, dia menegang dan dengan refleks menjauhkan jarinya.

Wajahnya memerah. "Jangan menjilat!"

Ray tersentak dengan suaranya yang Tiba-tiba. Reane langsung merasa bersalah dan segera berkata. "Ma-af ... Kamu tidak boleh menjilat ibu jariku begitu saja ...."

Ray memiringkan kepala melihat wajahnya yang imut memerah. Reane malu dan lucu melihat ekspresinya. "Ka-mu ... Apakah sudah selesai? Biarkan pelayan membersihkan meja makannya ...."

Dia hanya diam seperti biasa, namun dengan hanya tatapan, Reane bisa mengerti maknanya. Sebelum itu, dia mengambil segelas air dan menyodorkan kepada Ray. "Minum dahulu."

Dia mengambil dan dengan patuh meminumnya sampai setengah air tersisa di gelas itu.

"Emi."

Hanya satu panggilan, orang yang di sebut namanya langsung datang ke ruang makan. "Saya di sini, Nyonya."

Dependency ✓ [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now