Akhir Cerita

2.4K 391 489
                                    

Bunyi klakson menyadarkan Milan dari lamunan. Gadis berkemeja batik itu mendongak, tersenyum saat sang pengemudi mobil melambai dan tersenyum. Milan lantas mendekati mobil keren itu.

"Mau makan dulu, nggak?"

"Langsung saja, Git," Milan menjawab sambil memasang sabuk pengaman. "Kelihatannya mau hujan. Ribet kalau basah-basahan."

"Ngokhey."

Sagita dengan lincah memainkan gigi dan pedal gas. Mobil membelah jalanan dengan lambat. Kebetulan ini jam makan siang sehingga jalanan cukup padat.

"Pernah kebayang kayak gini, nggak?" Sagita membuka percakapan. "Kita berdua, datang ke pemakaman buat datangin mereka."

Milan merasakan kesedihan di suara Sagita. Kebetulan dirinya juga sedang merasa rapuh. Tak pelak ia didera sesak. Ditahannya air yang memaksa keluar dari mata. Bagaimanpun, ia hanya boleh menangis ketika sedang sendirian.

Sagita cukup peka. Ia sudah mengangsurkan tissue. Memberi isyarat agar Milan menerimanya.

"Mereka sudah tenang. Sudah nggak perlu ngadepin huru-hara," kata Sagita seraya memutar kemudi ke kanan. "Tinggal kita yang hidup-hidup. Mesti siap ngadepin kehidupan dewasa yang bikin capek."

"Jadi content creator apa pusingnya, Git?"

"Wah, tersinggung gue ditanya gitu."

"Eh, bukan maksudnya ngerendahin. Gue cuma kepo."

Sagita terkekeh. Ia mengurangi kecepatan mobil. Lampu lalu lintas di depan sana berubah dari orens ke merah.

"Lo jadi manajer gue saja gimana, Mil? Biar lihat langsung."

Milan menolak. Dia suka pekerjaannya sebagai guru.

"Gue lagi pusing cari editor. Nggak ada yang sehebat Vishal."

Suasana kembali ke awal. Segelap awan mendung di langit. Kali ini Milan yang lebih peka. Ragu-ragu ia memegang tangan Sagita di atas gigi. Dirasanya tidak ada penolakan, ia pun menggenggamnya.

"Babik lo, Vishal," decih Sagita sambil menatap langit-langit mobil. "Gue lebih suka mobil yang satu lagi, tahu!"

Milan merasa lebih lega. Mendung yang ia kira akan berlangsung lama nyatanya tidak terjadi. Sagita sudah bisa berkelakar. Walau tidak lucu.

Mobil yang dikendarai Sagita merupakan 'warisan' Vishal. Sebelum wafat, cowok itu sudah menuliskan beberapa hal soal hartanya selama menjadi editor, salah satunya roda empat ini.

Diam-diam Vishal punya tabungan. Dia rupanya bermimpi punya agensi sendiri di kemudian hari. Sayang itu hanya sebatas mimpi. Vishal memberikan setengah hartanya (selama jadi editor dan bukan harta orang tua) untuk Sagita. Di surat wasiatnya dituliskan, anggap saja ucapan terima kasih sepadan untuk Sagita.

"Iri, deh. Lo sudah kaya, kenapa Vishal ngasihnya ke lo?"

"Nanti pas di kuburan tanya langsung, ya. Mana tahu dapat jawaban." Senyum Sagita terurai tanpa bisa dicegah. Ia bersiap menginjak pedal lantaran lampu sudah berubah menjadi hijau. "Kalau nggak dapat jawaban, entar gue yang bagi rata. Kalem, Mil."

"Yang bener?"

"Sumpah disambar gledek."

Tepat pada saat itu halilintar berteriak. Lengkap dengan kilatnya. Sagita menjerit. Ia menatap Milan kemudian keduanya terkekeh.

Mereka sampai di pemakaman dua puluh menit kemudian. Sagita seperti biasa langsung nempel ke lengan Milan. Sepanjang jalan mereka tidak bicara. Tapi senyum terurai di wajah mereka.

They Did ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang