Kasta - Dosa

993 347 168
                                    

Lagi kejar setoran. Mulai hari ini ditarget update setiap hari.

Iya, sama-sama, Bor

_______

Hape gue bunyi untuk sekian kali.

Awalnya mau gue reject kayak sebelum-sebelumnya. Palingan dari si cantik, si bohay, si seksi, dan si si lainnya yang anunya butuh dimasuki. Tapi pas lihat nama Milan di sana, niat itu gue urung. Sejak reuni, nggak pernah banget dia nelpon kalau bukan hal penting.

"Hallo. Di mana?" tanya cewek itu begitu telepon tersambung.

"Kosan, ngapa?"

Milan nggak langsung ngejawab. Gue ambil sebatang rokok dan gue selipkan di bibir. Sambil nunggu cewek itu ngomong, gue sulut api dan gue sedot rokoknya sedalam mungkin.
Gue juga ngerebah di kepala ranjang.

"Lo sudah dengar berita?"

"Kalau yang lu maksud Tutu ditangkep, sudah," jawab gue sambil nyentil abu ke atas meja.

Gue isap lagi rokok sampai dalam. Api kelihatan nyala banget di ujung nikotin, nunjukin betapa kuat sedotan gue. Pas gue keluarin lewat hidung, rasa perih yang gue rasa bukan cuma di indera pembau tapi juga di tenggorokan.

Tutu ditetapkan tersangka kemarin. Cuma beberapa saat setelah gue dan yang lainnya selesai meriksa CCTV. Gue nyesel kenapa pas Vishal maksa masuk mobil malah ngikut saja. Harusnya pas tahu polisi datang ke kafe, gue langsung telpon Tutu. Datangin kalau perlu. Paling nggak gue bisa ajak kabur atau ke mana kek.

Gue yakin Tutu nggak bersalah. Bulshit polisi-polisi itu! Mereka pasti cuma mau kelihatan kerja. Asal saja nangkep orang, biar kesannya kasus ini ada progres. Taik, lah!

"Kas."

Suara Milan nyadarin lamunan. Abu di rokok gue jatuh ke dada. Ah, sial. Naga gue ketumpahan abu. Buru-buru gue sentil bekas rokok itu.

"Gue turut berduka."

"Tutu nggak bersalah. Dia akan segera bebas."

"Ya."

Jeda sekian detik. Gue nikmati lagi rokok di bibir. Perpaduan tembakau yang dibakar dengan rasa manis di filter rokok, cukup menentramkan hati gue yang gundah. Pusing dua keliling.

"Mungkin nggak, sih, Sagita pelaku sebenarnya?"

Jantung gue mendadak berhenti berdetak. Sagita? Si Gobloy itu? Hah!

"Gimana maksudnya?" Gue mindahin hape ke kuping kiri. Rokok gue sedot lagi sampai asapnya menuhin kamar.

"Mungkin yang sekarang ditangkap bukan Kasturi tapi Sagita."

Gue sentil abu di rokok. Sisa lintingan tembakau itu masih ada setengah lagi. Asap masih berputar di atas kepala gue.

"Polisi bilang Gibran keracunan arsenik." Milan menjeda kalimat. Kalau kita lagi hadep-hadepan, gue yakin dia lagi berusaha ngatur napas. "Gue nemu racun itu di tempat Sagita."

Gue menggaruk rambut dengan gusar. Semakin Milan ngomong, semakin bernafsu gue ngisep rokok. Apa-apaan, sih, Milan? Racau gue. Otak gue beneran beku. Nggak bisa nyerna maksud si Milan. Jangan bilang dia mau ngibul!

"Kemarin bukannya sudah setuju kita percaya satu sama lain dulu?"

"Gimana bisa percaya kalau buktinya ada di depan mata gue, Kas?"

Gue sedot lagi rokok sampai pipi gue menjorok ke dalam. Asapnya langsung gue telan. Sakit emang, tapi karena sudah kebiasaan makanya nggak bikin batuk-batuk. Jantung gue berdebar nggak karuan. Penjelasan Milan bikin nggak tenang. Sisa rokok yang masih seperempat lagi gue lempar ke lantai.

They Did ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang