Milan - Keresahan

1.1K 346 81
                                    

Kenangan yang paling malas kuingat ada dua. Ketika Ayah memutuskan pergi hanya karena Ibu tidak bisa memberi anak lelaki, juga percekcokan terakhir antara aku dan ketiga temanku. Sagita, Vishal, Kasta.

Saat Ayah pergi, hatiku hanya hancur setengahnya. Dan begitu percekcokan dengan mereka terjadi, perasaanku lebur tak berbentuk. Bukan saja karena merasa dibohongi oleh Sagita dan Kasta, tetapi tidak lama setelah kejadian itu, luka yang kurasakan seperti belum sepenuhnya cukup. Tuhan seakan-akan ingin menghantamku sekali lagi.

Itu adalah ketika Ibu berpulang. Selang satu hari dari marahku pada teman-temanku.

Setelah bertarung dengan paru-paru basah hampir tiga tahun, akhirnya semua kesakitan Ibu hilang. Namun, dengan kenyataan itu, justru sakitnya balik menimpaku, juga keempat saudariku. Kedua kakak dan adikku tergugu sepanjang pemakaman. Cuma aku yang tidak menangis. Setidaknya tidak di hadapan mereka. Ketika larut tiba, aku menangis di kamar mandi sambil menyalakan keran air. Memanggil-manggil Ibu dengan hati hancur. Di situ aku jadi paham ungkapan : "selama kehilangannya bukan Ibu, kau masih  belum kehilangan apapun."

Sagita, Vishal, dan Kasta sempat menemuiku di pemakaman. Tapi saat itu aku abai terhadap mereka. Sakit yang mendera justru bertambah bekali-kali lipat. Hatiku tersayat. Perih mencengkeram kalbu.

"Mil, bisakah kita ngomong?"

Aku ingat Sagita bilang begitu ketika kami duduk di tengah rumah.  Semua pelayat sudah pulang. Sisa Kasta dan Sagita. Kubalas dengan gelengan. Aku tahu apa yang akan disampaikannya. Tentang kejadian percekcokan itu.

Tidak. Batinku menegaskan. Tidak perlu ada penjelasan. Kalian membohongiku, kalian tidak percaya padaku. Titik.

Aku merasa Sagita dan Kasta keterlaluan. Kenapa harus bohong? Kenapa mereka tidak mengatakan yang sejujurnya? Apa cuma segitu harga kepercayaan mereka padaku sampai-sampai baru bilang status mereka? Atau, apa mereka takut aku akan sama dengan Vishal yang menentang hubungan antar sahabat? Omong kosong!

Setelahnya semua terasa berat sekali. Itu mungkin salah satu titik terendah dalam hidupku. Gara-gara itu juga aku memutuskan untuk menarik diri. Menutup semua akses terhadap teman-temanku. Hanya fokus pada studi.

Aku memutuskan untuk tidak ikut campur urusan teman-temanku. Keluar obrolan grup dan selalu mengabaikan kedatangan Kasta ke rumah adalah salah dua upayaku menarik diri. Lama-lama benang yang kuputuskan sepihak itu memengaruhi mereka. Tidak terdegar lagi kabar ketiganya ketika studiku di perguruan tinggi semakin bertambah tingkat.

Gara-gara itu juga aku lantas lebih selektif dalam mengenal orang. Tidak ada yang benar-benar sahabat ketika aku kuliah. Semua hanya rekan.

Ini mungkin terdengar berlebihan, tapi begitulah keadaannya. Aku merasa kecewa dan hancur. Dan, mungkin bisa dibilang patah hati.

"Bukan ini tujuan gue kumpulin kalian semua," Kasta berujar, memecah kesunyian yang sempat menerpa setelah Vishal tersudut atas todongan kami soal narkoba. "Nggak ada gunanya kita saling curiga dan nuduh tanpa bukti."

"Tapi emang susah buat percaya sama kalian," kataku langsung. Kupandang mata Kasta lekat-lekat. Dia meneguk ludah. "Apalagi dulu ada pembohong di antara kita. Pasti sekarang juga begitu."

"Lu nggak usah bawa masalah yang lalu-lalu!" Kasta tampak geram. Kulihat alisnya memusat ke jidat sementata matanya memelotot ke arahku. "Pada akhirnya yang lu pikir bohong nggak terbukti, kan?"

Kasta pasti ingin menegaskan bahwa percekcokan waktu itu, juga anggapanku, seratus persen salah. Tapi maaf saja aku tidak akan mengimani begitu saja. Aku yakin waktu itu Kasta berbohong.

Gosip Kasta dan Jinan memang lenyap ditelan waktu. Tidak ada laporan apapun, tidak ada hal-hal yang membuat Kasta harus mempertanggungjawabkan perbuatannya——jika memang terbukti salah. Jinan juga masih pergi sekolah seperti biasa. Cuma memang, dia menjadi lebih pendiam. Jarang berinteraksi dengan teman kelas kalau tidak penting-penting amat.

They Did ItWhere stories live. Discover now