Jahat

1K 335 127
                                    

"Ngelihat cewek itu ketakutan setengah mati bagaikan candu. Betapa bahagianya saat itu, ketika orang paling sombong sejagat raya kelihatan nggak berdaya."

Vishal menelan ludah. Sejenak ia menyesal datang ke rutan ini. Perasaan gundah sejak semalam justru bertambah berkali lipat saat melihat Marko. Wajah kakaknya kusam tirus dengan jambang, matanya sayu tapi marah, dan rahang terlihat bergemeletuk beberapa kali. Ia seperti bukan kakaknya. Marko terlihat jauh lebih tua dari usianya.

"Apa —— " Vishal mengatur kata. "Apa lo pernah menyesali semua yang lo lakuin, Kak?"

Pemuda berkacamata di hadapan Vishal menghela napas. "Di mata lo,  gue kelihatan sejahat itu, ya?"

Vishal tidak menjawab. Semua orang adalah antagonis di cerita orang lain. Kakaknya adalah penjahat jika dikisahkan dari pihak lain. Begitupun dirinya. Di mata penggiat anti narkoba, Vishal pastilah tokoh yang menghambat tujuan kejayaan.

"Satu-satunya yang gue sesali adalah," Marko menambahkah. "Gue gagal jadi apapun. Jadi anak, atasan, teman, dan tentunya kakak."

Vishal memandang mata sayu itu dengan pasrah. "Nggak ada yang benar-benar baik, Kak." Termasuk gue.

Marko diam sejenak. Tanpa diduga ia tiba-tiba beringsut dari kursi, kemudian menyugar rambut Vishal. Si empunya jumputan diam. Fantasinya mendadak bermain. Ia merasa menjadi Sasuke di adegan Naruto Shippuden. Yang mana Itachi menyentuh dahi Sasuke sambil berkata I will always love you sebelum akhirnya mati.

Kegundahan Vishal menepi sesaat. Kalau memang harus ditangkap karena narkoba, bukankah itu bagus? Ia bisa satu rutan dengan kakaknya——semoga.

"Kalau bisa lo harus lebih baik dari gue."

Vishal diam. Tangan kakaknya masih berada di kepalanya. Ia merasa tidak akan pernah bisa lebih baik dari Marko. Lelaki di hadapannya sudah terpatri sebagai role model. Vishal bahkan baru sadar banyak sekali kesamaan dengan sang kakak. Mulai dari cinta bertepuk sebelah tangan hingga terjerumus kubangan narkoba.

Vishal membiarkan tangan Marko menyugar rambut birunya. Perasaannya lebih tenang sekarang. Sayang adegan itu mesti berakhir. Petugas datang dan menginfokan waktu kunjungan hampir habis.

"Tolong datang lagi, ya. Gue bakal tunggu lo," kata Marko.

Vishal mengangguk sebelum mereka terpisah.

*
*
*

Pukul sembilan malam.

Vishal gemetaran di balik kursi kemudi. Kakinya tidak bisa berhenti bergerak sementara tangannya lagi-lagi tremor. Ia berusaha mengatur napas tapi tidak berhasil. Rasanya pasokan udara di bumi seperti menipis. Ia kelabakan.

Setelah mengunjungi kakaknya, Vishal kembali ke rumah. Kosong tanpa penghuni seperti biasa. Ia mencoba tidur tapi tidak bisa. Berbagai pikiran berputar di benak.

Surat semalam. Apakah ini memang ancaman? Siapa yang mengirim? Apa yang si pengirim cari? Mungkinkah ada hubungan dengan kasus Gibran?

Tidak tahan lagi ia lantas duduk di meja kerja. Mengambil plastik kecil berisi penenang. Tepat ketika hendak mengisapnya, kata-kata Marko muncul di benak.

"Kalau bisa lo harus lebih baik dari gue."

Vishal berperang dalam batin. Tangannya sudah siap mendekatkan plastik ke hidung. Tapi kata-kata itu terus berputar.

"Bisa rehab, Vi. Ayo, gue temenin."

Kini giliran bayangan Sagita yang mampir. Napas Vishal kian memburu. Keringat membanjir di balik kaos. Ia menyeka pelipisnya yang basah. Dadanya bertalu cepat.

They Did ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang