Pencarian

939 325 94
                                    

"Kita sudah bicarakan ini, kan, Bee?" ujar Ismail dengan suara tenang. "Kita sama-sama dibutuhkan. Tugas adalah prioritas."

Sambil mengapit ponsel di pundak, Ismail membaca kasus yang ditanganinya. Rambut yang biasa tersisir rapi tampak kusut masai. Kancing kemeja putihnya terbuka tiga. Letak kacamata tidak simetris.

"Nggak tahu, lah. Bosan ngedengernya."

"Sabar, ya."

"Hmm."

Ismail tersenyum sambil kembali mempelajari berkas. Walau suaranya lesu, Ismail tahu kekasihnya merupakan perempuan paling pengertian sejagat raya. Setahun terakhir mereka hanya bersua satu kali. Itupun karena Bee yang nekat mendatanginya.

"Berapa lama aku harus nunggu?"

"Nanti saya kabari, ya."

"Seminggu nggak ada kabar aku cari laki-laki lain."

Ismail terkekeh.

"Ini bukan ancaman semata, Ismail Sebastian."

Kalau Bee sudah manggil namanya secara lengkap, Ismail tidak bisa bercanda lagi. Oke, saatnya serius.

"Gimana kalau kamu coba bantu? Otakmu lebih encer biasanya."

Ismail menaruh berkas di atas meja kemudian menyandarkan punggung ke kursi. Sebagai dokter, Bee memang sempat membatunya beberapa kali. Dan malam ini, sepertinya tukar suara mereka akan diisi oleh kajian ilmu. Bukan tukar rindu seperti rencana awal.

"Oke," Bee menyetujui. "Aku sempat mengikuti beritanya. Kudengar sudah ada tersangka."

"Ya," Ismail menginfokan. "Si pemilik kafe."

"Tetap ketahuan, ya?" Bee berkomentar. "Padahal arsenik cukup ampuh. Racun yang nggak berbau. Nggak mengubah rasa dan warna saat dicampurkan."

"Polisi nemuin bukti di kerah kemeja sang korban. Pas dia 'tidur', pipinya nempel ke meja. Nah, sisa sausnya menjejak di kemeja."

"Sudah ada info gimana caranya itu racun masuk ke tubuh si korban? Maksudnya, semua orang di situ makan sesuatu yang sama."

"Nope," kata Ismail sambil menyandarkan punggung ke kursi. "Hari ini saya menemui Vishal, klien saya. Dia menjabarkan semua lebih detail. Tapi begitulah, masih belum ada petunjuk."

Sepi sesaat. Ismail memijat pelipis. Memang untuk sementara kliennya masih aman, belum ditetapkan sebagai tersangka apa lagi terdakwa. Tapi tetap saja Ismail merasa tidak tenang. Nalurinya yang sok detektif merongrong agar kasus ini dikupas sesegera mungkin.

"Apa mungkin ini pembunuhan yang salah sasaran?"

Sepi untuk sejenak. Ismail buru-buru menuliskan dugaan tadi di catatannya. Pulpen yang biasa ia gunakan rupanya kurang bisa diajak kompromi. Tulisan Ismail tersendat. Pemuda itu mencoreti di bagian lain, berusaha membuat tinta itu bisa berguna lagi.

"Oke, sudah saya tulis," kata Ismail.

"Tapi rasanya kalau tebak-tebak buah mangga, klienmu yang paling mencurigakan, ya. Haha."

Ismail bungkam. Tidak lucu. Bukan saatnya bergurau.

"Dia yang punya ide soal reuni. Yang jadi koordinator acara. Yang nelpon ambulans. Yang nyuruh ART datang. Yah, semacam berperan penting atas poin-poin utama dari kejadian."

"Tanpa bukti, itu semua nggak bisa dijadikan acuan."

"Yep, aku cuma nebak. Anggap saja aku ini orang awam di luar cerita ini. Atas penjabaran kamu sebelumnya, aku rasa Vishal pelakunya."

Ismail tidak langsung menjawab. Satu kalimat Bee membuatnya mencatat sesuatu di buku. Orang-orang di luar cerita. Hmm.

They Did ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang