Sagitarius - Pengakuan

1K 334 74
                                    

Aku belum beranjak meski sabuk pengaman sudah kulepas. Walau nggak diucapkan, aku merasa Vishal masih ingin aku tetap di sini. Menemaninya.

"Gue bersedia rehab, Git."

Aku mendongak. Memandangnya. Menunggu lanjutan.

"Tapi gue takut. Bokap nyokap, orang-orang, semuanya bakalan tahu."

Aku menarik tangannya dari kemudi. Kupegang dan kugenggam erat. Dirasa nggak ada perlawanan, aku lantas bicara.

"Gue bakal temenin."

Vishal melengos, menundukkan pandangan. Aku menggenggam tangannya lebih erat.

"Bukan hal mudah buat lo ngakuin ini. Gue appreciate kejujuran lo, Vi. Thanks."

"Gue yang harusnya makasih." Vishal melepas tangannya. Aku membiarkan itu. Mungkin dia nggak suka disentuh oleh jariku yang selembut sutra nan cantik gemilang.

Tadi pagi Vishal menelponku. Aku misuh-misuh lantaran tidurku belum delapan jam. Kunci dari kekencangan kulit wajah dan kecantikan mata adalah tidur yang cukup. Berani-beraninya ada yang ganggu rutinitasku.

Tapi kemudian Vishal mengutarakan maksud. Dia meminta maaf soal tempo lalu, ketika membiarkanku pulang sendiri (eh, berdua dengan Milan). Ternyata daat itu dia menemui pengacaranya. Ada hal yang perlu dibahas.

Selanjutnya, Vishal menceritakan soal kasus. Benar saja. Tidak lama setelah itu, media memberitakan kasus Gibran yang menemui titik terang. Satu nama muncul sebagai tersangka. Kasturi.

Aku terkejut dan tidak percaya. Tapi polisi memang punya bukti.

"Selain itu, Git," sambung Vishal dengan suara rendah. Aku perlu menajamkan kuping, bahkan menaikkan volume ponsel. "Sorry, gue nggak bisa bicara di sini."

"Mau ketemu di mana?"

"Gue ke tempat lo, boleh?"

Aku mengiyakan. Sekaligus memberitahu sebaiknya datang agak siangan. Bagaimanapun, aku harus berias terlebih dahulu.

"Yang dibilang Gibran soal gue ... itu benar," begitu akuannya setelah sampai di unitku. "Gue sama kayak Kak Marko."

Aku nggak langsung bereaksi. Dia lantas menceritakan lanjutannya. Dia bilang awal mula kenal sabu dari kenalan di diskotik. Katanya dikasih cuma-cuma. Hanya untuk trial.

"Waktu itu gue teler karena stress banget habis dimarahi bokap. Dia nyuruh gue berhenti jadi editor lo, Git. Dia bilang yang kita lakuin nggak berguna sama sekali."

Aku melihat kilatan kecewa di mata biru Vishal.

"Di situ gue kayak bisa ngerasain apa yang Kak Marko alami. Gimana ruwetnya isi kepala. Gimana remuknya badan. Gimana capek tapi nggak bisa tidur."

Vishal melanjutkan bahwa cuma dengan obat haram itu semuanya terkendali. Dia tahu yang dilakukannya salah. Tapi dia sudah terlanjur masuk lingkaran dosa itu. Nggak ada cara untuk keluar. Dia mulai ketergantungan.

"Masih bisa rehab, Vi," kataku setelah punya waktu bicara. "Ayo, gue temenin."

Vishal diam mendengarkan. Aku meyakinkannya. Menceritakan bahwa rehabilitasi nggak seburuk itu. Aku punya teman sesama content creator, yang temannya itu punya teman, yang temannya itu kecanduan sabu juga——maaf ribet. Aku sempat cari info mengenai rehabilitasi juga. Dan bisa kusimpulkan, rehab adalah jalan terbaik untuk para junkie.

Aku lantas mengajak Vishal ke tempat yang sudah kukantongi. Dengan mobil kerennya, kami menuju ke sana. Tidak langsung masuk. Hanya melihat dari luar.

"See? Nggak ada kamera, paparazzi, dan sebagainya," kataku.

They Did ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang