[14] Unexpected Love; Keraguan

25 7 0
                                    

Langit malam terhias bintang, namun tidak dengan Sheila. Tidak cukup bintang-bintang itu menghiburnya di kala seperti ini. Sambil menyesap cokelat hangatnya dan duduk santai di teras rumah, Sheila menunggu ibunya pulang dari restoran.

Sayup-sayup lampu motor menyorot ke arah gerbang rumahnya, menandakan ibunya telah pulang. Sheila segera berdiri menyambut si ibu. Di peluknya kala ibunya telah berdiri di depannya, mencari kehangatan dan ketenangan.

"Anak ibu kenapa ini? Kenapa di luar malam-malam? Nanti sakit, loh." Ucap ibu sambil mengelus rambut anaknya penuh kasih.

Sheila semakin mempererat pelukannya. "Kangen."

"Aduh, anak ibu lagi mau manja, ya. Ayo, masuk dulu, yuk." Sahut sang ibu sambil menuntun anaknya masuk ke dalam. "Sudah makan?"

Sheila mengangguk.

"Ibu ganti baju dulu. Habis itu Sheila mau cerita apa aja ibu dengerin. Oke?"

Sheila mengangguk kembali. Dengan berat hati menyetujui dan masuk ke dalam kamar dengan cokelat hangat yang ia bawa masuk. Lampu redup di kamar seperti mendukung suasana gundahnya. Bahkan detak jam di nakas terdengar sangat keras. Dengan malas Sheila merebahkan dirinya di kasur, merentangkan tangan sambil menatap langit-langit kamar yang didekorasi oleh cahaya bintang dan bulan.

Hati Sheila bimbang mengingat bahwa dirinya harus membantu Radja dalam urusan sekolah. Di satu sisi dia tidak ingin, namun setelah hari-hari di mana mereka belajar bersama Sheila menyadari kalau Radja sangat baik kepadanya. Seperti saat tadi pagi saat dia membutuhkan pensil untuk menggambar pada materi biologi, Radja dengan percaya diri mengambil pensil milik Agita, membelahnya menjadi dua dan memberi setengah bagiannya pada Sheila. Agita tentu saja syok pensil satu-satunya harus terbelah menjadi dua.

"Gitu aja, kok, ribet." Ucapnya.

Sheila jadi tertawa mengingat ekspresi yang dikeluarkan Agita. Gadis itu pasti juga kesal dengan Radja.

"Shel," ibunya masuk perlahan ke kamarnya. Membuyarkan lamunan Sheila yang mengambang di atap-atap kamar. "Sudah jam sembilan, loh."

"Mau ditemanin ibu aja."

Nella--ibunya--ikut berbaring di atas kasur. Menggenggam erat tangan Sheila agar sang anak merasa nyaman malam ini. Jarang sekali dia menghabiskan waktu sejak restorannya dibuka. "Anak ibu mau cerita apa, ayo sini ibu dengerin."

"Sheila kangen ayah."

Nella terdiam sebentar. "Ayah mungkin masih sibuk sama proyeknya. Kita doa aja supaya ayah cepet pulang."

Sheila membalas dengan anggukan kecil. Hening cukup lama sampai Sheila memberanikan diri mengutarakan kegelisahannya. "Ibu, menurut ibu berurusan dengan orang yang dicap buruk gimana, bu?"

Ibunya itu terkejut. Spontan menatap wajah anaknya yang terlihat sendu. Namun kembali memberikan usapan kasih sayang pada pucuk kepalanya. "Apa alasan orang tersebut dianggap buruk?"

Sheila terdiam. "Dia keras kepala, semaunya sendiri, suka berantem, merasa jago, dan merugikan orang lain."

"Kamu harus hati-hati dengan orang itu."

"Ibu," panggil Sheila ragu-ragu. "Orang itu satu kelas sama Sheila, dia gak lulus, bu. Sheila diangkat jadi tutornya dan harus bantu dia buat lulus, bu."

Nella terdiam, mendengar cerita anaknya yang mungkin sangat jarang dia dengar.

"Awalnya Sheila gak mau, tapi Sheila bisa dapat tambahan nilai dan mungkin bisa masuk PTN. Jadi Sheila berpegang teguh sama hadiahnya." Sheila memberi jeda. "Tapi setelah Sheila jalanin, orang itu benar-benar gak cocok sama Sheila, bu. Dia susah diatur, semaunya sendiri. Ya, walaupun dia akhirnya nurut."

Nella mengangguk pelan namun mengandung pesan antusias.

"Dan dia baik, bu, sama Sheila. Keburukan yang orang lihat gak pernah Sheila lihat. Pernah, sih, katanya dia berantem tapi itu cuma untuk ngebela, bu. Dia lihat ada adik kelas dipalak kakak kelas, dia gak suka, jadinya berantem. Cara dia salah juga, sih, kalau mau kasih pelajaran 'kan gak perlu pakai kekerasan." Jelas Sheila panjang lebar membuat Nella tanpa sadar tersenyum.

"Menurut ibu Sheila harus gimana?"

Nella menghembuskan napas pelan, sangat menenangkan. "Sheila sudah mengambil tanggung jawab itu, jadi artinya Sheila harus menjalaninya dengan sungguh-sungguh. Mengincar hadiahnya boleh, tapi tetap harus ingat dengan tanggung jawab yang dibawa."

Sheila merenungi setiap kata yang keluar dari mulut ibunya. Menyadari betapa benarnya semua itu.

"Kita tidak boleh hanya memandang yang buruk saja. Kalau menurut Sheila terdapat bagian kecil dari dirinya yang bersinar, itu artinya ada celah di mana kebaikan dia tersimpan. Yang buruk jangan dijadikan pacuan, sayang."

Benar juga. Memandang buruk seseorang adalah hal terburuk yang ada pada diri manusia. Jika Sheila terus dibayang-bayang oleh perasaan buruk mengenai Radja, dia adalah orang buruk itu sendiri.

"Anak ibu sudah diberi kepercayaan saja ibu sudah sangat senang. Ibu percaya kalau Sheila adalah anak yang baik, jadi semua keputusan juga ibu serahkan kepada Sheila. Keraguan-keraguan yang ada di hati Sheila harus direnungkan kembali, bagaimana menyikapinya dan menghadapinya." Ujar sang ibu sebagaimana alunan melodi tidur yang membuat Sheila menjadi tenang. Kemudian cerita lainnya berangsur datang silih berganti dan ditutup oleh nyanyian pengantar tidur.

Malam yang sangat indah, yang jarang mereka lakukan, bagi Sheila dan Nella.

-[...]

Unexpected Love | Lee JooyeonWhere stories live. Discover now