[8] Unexpected Love; Nomor

42 8 0
                                    

Sheila menciumi harum bunga yang membuat dirinya merasakan kenyamanan. Bunga-bunga yang terpajang berbaris di sudut toko terlihat sangat serasi dan cantik.

"Ini, Dek."

Sheila menoleh. Mendapati sang pemilik toko dengan sebuket bunga di tangannya. "Terimakasih, ya, Bu."

Sore ini Sheila sedang berada di toko bunga untuk mengambil pesanan ibunya. Bunga-bunga ini akan dipajang di restoran milik ibunya untuk membuat suasana menjadi lebih indah dan nyaman. Kemudian gadis itu keluar toko dan akan segera pergi dengan motornya.

"Loh, Shel?"

Belum selesai Sheila menyalakan motor, suara yang tak asing baginya memanggil. Secara spontan Sheila menoleh ke arah samping. Benar saja, seseorang yang ia kenal berada di jarak dekat dan perlahan orang itu berlari kecil ke arahnya.

"Radja?"

Radja tersenyum. "Hai."

Sebenarnya selama ia tahu Radja tidak pernah dilihatnya Radja dengan keburukan yang dikatakan orang-orang. Walau mungkin beberapa kali sering didengarnya bertengkar, namun tidak pernah sekalipun Sheila melihat Radja dalam sisi yang buruk. Atau Sheila hanya belum menemukannya.

"Habis beli bunga?" Basa-basi Radja.

Sheila menatap Radja. Pakaian kasual, rambut seperti biasa--berantakan. "Hari ini kenapa gak masuk?"

Benar. Setelah kejadian kemarin Radja tidak masuk sekolah. Sheila kira dia akan terlambat seperti biasanya, namun sampai jam pulang sekolah Radja tidak juga muncul di sekolah.

"Gak mau aja."

"Gara-gara kejadian kemarin?"

Radja terdiam. Dengan jarak yang lumayan dekat ini, Sheila dapat melihat bahwa lebam di bibir itu masih terlihat.

"Nggak, kok, gue malas aja ketemu orang yang habis gue gebukin." Ucap Radja santai.

"Dengan begitu lo mengaku salah." Sheila menghela napas. "Lo salah karena gebukin anak orang, lo salah--lo salah soal kejadian kemarin." Cecar Sheila sedikit gugup.

Radja menautkan alis, terlihat wajahnya sedikit emosi dengan perkataan Sheila. "Gue nggak, Shel. Ngapain gue merasa salah? Gue gak salah, gue cuma bertindak yang seharusnya." Jelas Radja dengan menggebu-gebu. "Masih kelas sebelas aja udah malak, gimana nanti kelas dua belas. Mau jadi apa sekolah kita kalo anak kayak begitu dibiarin."

Sheila tidak habis pikir. Dia dan Radja benar-benar memiliki cara berpikir yang berbeda. Dengan lamat Sheila menatap Radja, tersirat tatapan untuk dipercaya di sana.

"Kalau lo gak merasa bersalah seharusnya lo masuk sekolah. Kalau menurut lo itu tindakan yang benar, tunjukin ke semua orang bahwa lo gak goyah." Sheila menjeda. "Tapi lo malah bolos, kelihatan 'kan, kalo lo itu salah, Ja."

"Lo gak percaya?" Ujar Radja dengan nada rendah yang tiba-tiba. "Sama aja tau gak, lo sama guru-guru sotoy itu." Lanjutnya datar, kemudian pergi meninggalkan Sheila yang masih terpaku di tempat.

Bukan Sheila tidak percaya, hanya saja Sheila rasa tidak seharusnya Radja membolos jika dia tidak bersalah. Sheila juga menjadi sadar satu hal, bahwa tatapan itu adalah tatapan yang menunjukkan bahwa ia kesepian. Dalam relung hati terdalamnya Sheila menjadi sedikit merasa bersalah.

Apa dia melakukan hal yang salah?

Pikiran Sheila berkeliaran tak keruan. Gadis itu merasa seperti jiwanya telah meninggalkan raganya setelah mengetahui tugas kelompok pada pelajaran yang berbeda. Masalahnya pada kelompok itu Sheila harus selalu satu kelompok dengan Radja. Gadis itu sangat frustasi, sudah terbayang saja dibenaknya jikalau Radja enggan membantu mengerjakan tugas.

"Shel!"

Sheila tersadar kala satu tepukan di bahunya diberikan oleh Agita. "Oh, ya, kenapa?"

"Lo yang kenapa. Bengong kenapa lo?" Tanya Keenar.

Saat ini ketiganya sedang berada di kantin pada jam istirahat kedua. Agita yang sedang mengaduk minumannya itu menatap Sheila dengan seksama. "Gara-gara tugas kelompok, ya?" Tebaknya benar.

"Kenapa?" Tanya Keenar.

Agita tersenyum menggoda. "Ada tugas kelompok. Nah, Sheila satu kelompok terus sama Radja." Agita tertawa kecil.

Keenar yang mendengar membelalak dengan bola mata yang berbinar-binar. "Maklum, Shel, namanya juga tutor." Tersirat nada menggoda di kalimat itu.

"Gue bisa gila gak, sih."

Sontak dua sahabatnya itu tertawa. Sampai menarik perhatian siswa sekitar yang dekat dengan mereka.

"Gak gila juga kali, Shel." Ucap Keenar masih dengan sisa tawanya.

Tidak. Mereka salah. Sheila sudah benar-benar gila. Saat  masih di kelas tadi saja Radja langsung menghampirinya dan bertanya kapan akan mulai mengerjakan. Namun bukan itu yang menjadi permasalahan dari kegilaan Sheila, melainkan ucapan Radja.

"Amanin nilai gue, Shel." Apa maksudnya???

Dasar gila.

Tak lama berselang, Sheila dikejutkan oleh guncangan pada bahunya yang dilakukan oleh Agita. Sahabatnya itu menunjuk ke arah pintu kantin dengan dagunya. Di sana lah Sheila melihat lelaki dengan tubuh tinggi, rambut gondrong, dan baju yang setengah dimasukkan. Benar, dia Radja.

"Tumben ke kantin, Bang." Sahut salah satu murid yang sepertinya akrab dengan Radja.

"Iya, nih, laper."

Beberapa orang langsung menoleh, menjadikan Radja pusat perhatian. Beberapa siswi juga terlihat mengagumi ketampanan lelaki itu. Namun satu hal yang tidak disadari, kedua mata Radja hanya terfokus pada objek yang sedang duduk di depan tukang minuman es. Radja sendiri juga bingung, mengapa ada perasaan senang tersendiri saat melihat objek itu.

"Mau apa lu, Bang?" Tanya teman di sampingnya.

"Apa aja asal kenyang." Ujarnya, kemudian meninggalkan rombongannya dan berjalan ke arah tukang es--lebih tepatnya objek yang dilihatnya sedari tadi.

"Eh, ke sini orangnya." Bisik Agita sambil menyenggol Sheila berkali-kali.

Radja duduk di sebelah Keenar, tepatnya di hadapan Sheila. "Kita kayaknya bakal sekelompok lagi di tugas-tugas lainnya."

Sheila enggan sekali mendengarnya. Fokusnya hanya pada minuman yang dia beli.

"Shel, kalau mau ngerjain tugas, kabarin gue, ya." Ujar Radja. "Kita mau ngerjain di mana lo bilang aja, nanti gue bisa jemput juga. Terus kalo gue sibuk, bakal gue usahain datang." Tambah Radja.

Sheila tetap diam. Tanpa respon apapun. Gadis itu kira kejadian di toko bunga akan membuat Radja masih marah kepadanya. Di sisi lain Sheila juga bersyukur Radja tidak membolos lagi.

Radja memandang Agita dan Keenar bergantian seakan bertanya apa yang terjadi dengan Sheila. Namun tanggapan keduanya hanya menyediakan bahu pelan.

"Gue bagi nomor lo, deh. Biar ngobrolnya lewat chat."

Perkataan itu berhasil membuat kantin menjadi riuh. Dari seluruh sudut dapat didengar siswa-siswi lain membicarakan topik yang Radja katakan.

"Gila, Kak Radja minta nomornya?"

"Anjir! Enak banget dimintain nomornya sama Radja."

Seperti itulah.

Radja menengadahkan tangannya, "mana hape lo. Sini gue kasih nomor gue." Ucap Radja, namun Sheila tetap tidak bergeming. "Atau gini aja, deh, gue tulisin. Ada pulpen gak?" Tambah Radja.

Tidak tahan dengan ocehan Radja serta perbincangan di sekitarnya, Sheila tanpa aba-aba langsung beranjak dan pergi meninggalkan kantin. Dengan Agita dan Keenar yang memanggil dengan hasil nihil. Keduanya berakhir terdiam bersama Radja.

Agita menatap Keenar, kemudian bergantian menatap Radja. Ada maksud dalam senyuman yang akhirnya Agita lemparkan kepada Radja.

"Mau aku bantu, Bang?"

"Waah! Boleh, tuh."

—[...]

Special Jooyeon Day!🎂
Seharusnya update tanggal 12 nih😁

Unexpected Love | Lee JooyeonWhere stories live. Discover now