XXVIII •Ketulusan hati•

Start from the beginning
                                    

     "Maafin abang Re, abang pengecut."

     Tangan Alan yang bebas lekas bergerak—mengusap wajah adiknya, lagi-lagi untuk pertama kali setelah sekian lama.

     "Abang sayang kamu."

     Alan sadar jika air matanya jatuh, sesegera mungkin ia menghapusnya dan kembali menarik tangannya—mencengkeram setir kemudi. Sebelumnya menarik napas dalam dan mengeluarkanya perlahan.

     Lalu mobil itu pun melaju meninggalkan area kafe yang mulai sepi. Menyisakan sejuta luka yang menyelubungi hati.

•••

     "Lo apain lagi Regi, hah?! Lo gak tau dia lagi sakit!"

     Alan membuang napas kasar, menatap datar Bima yang kini tahu-tahu sudah menghadangnya saat dirinya baru saja keluar dari mobil.

     Seakan tak mengindahkan Bima yang saat ini sudah menampilkan wajah yang memerah karena tersulut emosi—Alan lekas membuka pintu mobil dan hendak membawa adiknya ke dalam.

     Bima menahan pintu mobil Alan dengan tangannya. "Jangan bikin gua emosi Lan," tukasnya penuh penekanan sembari menatap Alan tajam.

     Lagi-lagi Alan membuang napasnya dan kali ini ia menatap Bima sedikit lebih lama.

     "Lo gak liat adek gua lagi gak baik-baik aja?"

     Pintu mobil berhasil terbuka lebar sehingga Bima bisa melihat jika di sana terdapat Regi dengan mata tertutup dan wajah pucat. Bima tertegun, tangannya mengepal erat.

     Sebelum Bima menerjang laki-laki itu dengan bogeman mentah, Alan sudah buru-buru menggendong Regi.

     "Ya ampun Den Regi kenapa Mas?" tiba-tiba seorang wanita paruh baya datang dengan ekspresi terkejut saat manik matanya menatap siapa yang kini Alan gendong.

     "Bi, tolong panggilin Dokter, ya. Sama siapkan air anget di baskom sekalian handuk kecil," jelasnya. "Aku bawa Regi ke kamar dulu."

     "I-iya Mas i-iya."

     Wanita itu lekas melengos pergi, menyisakan Bima yang masih berdiri di sana—sedikit membanting pintu mobil Alan dan mengumpat kecil sebelum mengikuti lelaki membawa Regi ke dalam.

•••

    "Regi sayang Reyga, kan?" pertanyaan itu keluar dari seorang anak lelaki. Kakinya yang tadi sedang menendang bola seketika berhenti—berbalik menatap sosok anak lelaki lain yang sedikit mirip dengannya.

     "Sayang dong! Masa gak sayang. Kata Mama sebagai saudara kita harus akur gak boleh berantem terus apalagi sampai musuhan." Regi mendekat ke arah Reyga—membisikkan sesuatu di sana. "Nanti Tuhan marah loh."

Another Pain [END] ✔Where stories live. Discover now