4 : Lebih Baik Break

Start from the beginning
                                    

Arsya tak memberikan respons berarti. Dia juga dalam situasi sulit. Papanya tak merespons keinginannya untuk bertemu atau berbicara.

Jika dia kembali berucap, hanya omong kosong yang terdengar. Miwa tak akan mempercayainya.

Jadi, Arsya memutuskan untuk diam sekalipun seluruh tubuhnya turut sakit mendapati Miwa menangis sesenggukan seperti ini. Sepuluh tahun perjalanan panjang mereka, mengecewakan Miwa adalah hal terakhir yang ingin dia lakukan.

Sayangnya, itu merupakan hal yang dia lakukan dalam beberapa tahun terakhir.

Sampai ia mendengar Miwa menarik napas panjang, Arsya memulai pembicaraannya kembali. "Kamu ingat, nggak? Waktu pertama aku paksa kamu naik kora-kora?"

Sembilan tahun yang lalu.

Miwa bergeming dan Arsya begitu yakin gadis itu pasti mengingatnya. Miwa selalu menemani mewujudkan keinginan-keinginan konyolnya dan juga sebaliknya. Keinginan Arsya begitu sederhana, ingin naik kora-kora di Dufan bersamanya. Namun dimatanya, permainan itu begitu berbahaya karena tak memiliki pengaman yang kuat.

"Saat itu kamu bilang ... kayaknya wahananya udah nggak aman dan pas kita duduk, ternyata besi untuk pengaman di perut kita agak longgar." Arsya mulai bernostalgia.

Miwa tetap diam, pikirannya turut memutar kenangan manis itu.

"Akhirnya sepanjang permainan kamu cuma peluk aku. Kamu nggak teriak. Kamu cuma memejamkan mata, tapi dampaknya ... kamu nggak mau lagi main kora-kora sampai hari ini," Arsya tersenyum. "Tiap ingat itu ... aku merasa jadi manusia paling nggak berguna di dunia ini."

"Itu keputusanku, bukan salah kamu," Miwa akhirnya bersuara.

Arsya tersenyum mengusap punggung Miwa. "Aku nggak mau hal itu terjadi lagi, Miw. Papa memang mempersiapkan aku untuk perusahaan ini. Aku pikir saat itu, aku bisa bawa kamu ke Amerika. Ternyata di luar dugaanku, Papa malah mau menunda pernikahan kita. Lagi."

Miwa menarik tubuhnya untuk menjauh dari Arsya.

"Sampai hari ini, aku belum bisa menghubungi Papa dan masih belum bisa ngobrol tentang masalah ini. Aku belum bisa memberikan janji apapun sama kamu."

"Sya."

"Kamu benar, kita udah nggak benar. Aku setuju untuk berpisah."

Miwa mengalihkan pandangan.

"Sama seperti sembilan tahun lalu, aku seharusnya aku nggak memaksa kamu memenuhi keinginanku. Aku harusnya mendengar pendapatmu kalau besinya longgar dan permainannya nggak aman. Hubungan ini ... juga mulai nggak aman, kan?"

Miwa tak kuasa menahan diri lagi, tangisnya kembali menyeruak keluar.

"Aku setuju dengan keputusan kamu."

Miwa mengangguk. Entah siapa yang dia yakinkan saat ini.

"Aku nggak akan menjebak kamu dalam situasi yang nggak aman lagi, Miw. Aku minta maaf atas semua kesalahanku."

Arsya membawa Miwa berdiri bersamanya. "Aku antar kamu pulang. Aku ada meeting jam tujuh, jadi harus buru-buru."

"Aku pulang sendiri," putus Miwa dan mencoba tersenyum.

Arsya mengangguk meski terasa begitu berat dan melepaskan Miwa. Dia berdiri dua langkah di depan Miwa dan mengusap puncak kepala gadis itu dengan penuh sayang. Seperti biasa. "Hati-hati ya."

"Kamu juga."

***

Miwa tentu tak langsung pulang. Nazira pasti akan bertanya kenapa matanya sembab. Dia sedikit kebingungan mencari tempat untuk bermenung sementara sampai Nazira tidur. Jadi, dia memutuskan untuk berdiam di kantornya tanpa melakukan apapun.

We Have To Break Up | ✓Where stories live. Discover now