Bagian 15 : Terungkap

16 5 0
                                    

Ardi merasa malu ketika menunjukkan rumah tinggalnya yang memprihatinkan kepada seorang anak muda yang diperkirakan masih umur belasan tahun. Padahal ia berencana untuk mengakhiri hidupnya sendiri di dalam rumah itu dan dibiarkan terbengkalai entah sampai kapan.

 Padahal ia berencana untuk mengakhiri hidupnya sendiri di dalam rumah itu dan dibiarkan terbengkalai entah sampai kapan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Jadi ini rumahnya?" ucap Karto mengamati rumah Ardi. "Saya pikir disini sudah tidak berpenghuni."

Hendak membuka pintu, Ardi terdiam sejenak. Ia sama sekali belum membereskan bagian dalam rumah. Dan aroma ruangan yang tidak enak mungkin akan membuat si pemuda sangat tidak nyaman.

"Apa tidak boleh masuk ke dalam?" tanya Karto lagi. "Saya sih tidak masalah kalau duduk di teras sini saja."

"Maafkan aku," Ardi menunduk malu. "Kamu bisa duduk di pagar teras."

Bagian yang dimaksud adalah pembatas batu persegi setinggi setengah meter yang mengelilingi teras berbentuk segi panjang. Hanya menyisakan satu sisi terbuka untuk memberi jalan keluar-masuk. Pemuda itu duduk di tempat itu dengan santai, diikuti Ardi di sebelah.

"Jadi kamu tadi cari aku?" tanya Ardi memulai.

Pemuda itu mengangguk. "Sudah dari kemarin-kemarin sih. Tapi bapak gak datang terus waktu saya mampir ke toko pak Cahyo. Jadi nama bapak Ardi kan?"

Ardi mengangguk pelan.

"Kenalin pak. Saya Karto, orang yang biasa antar kelapa ke toko pak Cahyo."

Ardi mengangguk lagi. "Sebelumnya, bagaimana kamu tahu nama aku?"

"Pak Cahyo yang kasih tau. Saya pikir pak Ardi juga tahu nama saya dari pak Cahyo juga," kata Karto terdengar santai sekali. "Apa bapak tinggal sendiri saja?"

"Iya, baru-baru ini juga sebenarnya. Beberapa hari lalu... ibuku—mertua—meninggal."

Karto berbisik sesaat, tampak sedikit terkejut. Lalu, "Saya turut berduka cita. Berarti sekarang bapak memang tinggal sendiri saja?"

Ardi mengangguk. "Sekarang aku yang tanya. Mengapa kamu ingin mencari aku?"

Hening, sesaat Karto bingung bagaimana memulai ke inti pembicaraan padahal dia sendiri yang berniat menemui Ardi.

"Kenapa diam sekarang?" ucap Ardi kemudian. "Katakan saja apapun. Aku siap mendengar."

Tanpa sadar keduanya saling tatap, spontan mengamati kemiripan wajah masing-masing. Memang mereka memiliki perbedaan usia yang mencolok. Yang muda masih memiliki kulit halus dan sedikit berjerawat, sementara yang tua menampakkan kulit keriput dan pucat. Namun apabila melihat dari rupa mata, alis, hidung, bibir, raut muka, hingga bentuk rahang kepala, kedua jelas terlihat mirip.

"Apa... pak Ardi kenal dengan keluarga saya?" tanya Karto hati-hati.

"Um, aku baru saja kenal dirimu. Jadi tidak mungkin aku kenal keluargamu juga."

"Begini, pak. Saya menemukan sesuatu di dekat rumah. Ada peti, tidak terlalu besar. Isinya barang-barang yang dibuang. Saya pikir itu punya ibu karena waktu lihat-lihat barangnya ada foto ibu masih muda," ungkap Karto. "Tapi ada foto mirip bapak juga. Dan namanya juga Ardi."

A Light Far in SightWhere stories live. Discover now