Bagian 10 : Tidak Mau Tau

11 4 0
                                    

Sebelum tidur, Karto membaca sejumlah buku yang ada di dalam peti yang sebelumnya ditemukan di tepi sungai. Sejauh ini yang ia temukan adalah semacam tabel yang ditulis tangan dimana isinya berupa angka yang banyak. Dari bagian atas buku ia hanya bisa membaca kata 'pemasukan', 'pengeluaran', 'utang', 'saldo', intinya apapun yang berhubungan dengan uang. Ia pikir ibunya pandai menghitung uang karena itu orang tersebut rajin menulis data seperti ini. Seringkali ia menjumpai ibunya yang sedang menulis-nulis buku di tempat pengepul kelapa—milik ayahnya sendiri.

Selesai membaca dua buku yang isinya sama, ia membuka buku yang lain. Namun tiba-tiba saja ada kertas yang jatuh dari buku itu, ternyata ada sebuah foto. Ia memandang seorang perempuan dewasa, mirip seperti ibunya. Apakah ini putrinya—kakak perempuan yang tidak diketahuinya? Ataukah itu memang foto ibunya saat masih muda? Lagi-lagi Karto berpikir, apa kemiripan fisik antara dirinya dengan ibunya sendiri? Mengingat rupa wajah ayahnya sendiri, Karto mencoba mencari bagian mana yang punya kemiripan dengannya. Mata? Hidung? Mulut? Rambut? Atau seisi wajah? Karto tidak bisa menebak dengan benar.

Ia kembali mengambil foto album dari peti temuan yang masih disimpan di bawah bantal. Lalu ia cari foto yang diduga bapak Ardi yang bertemu di warung pak Cahyo waktu itu. Setelah itu ia ambil pula foto album miliknya sendiri, mencari fotonya seorang diri. Barulah Karto sandingkan foto Ardi di foto album dua dengan fotonya di foto album satu. Dan akhirnya, ia terdiam.

Ini kebetulan yang tidak terduga. Dia punya kembaran di dunia ini—mungkinkah bapak itu satu keturunan dengannya? Lantas mengapa bapak itu hidup terpisah dengan keluarganya?

Karto tidak mau tahu. Demi menjawab rasa penasaran, dia harus bertemu bapak Ardi.

|---po.oq---|

Cahyo tidak menyangka es degan dagangannya laris manis lebih cepat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Cahyo tidak menyangka es degan dagangannya laris manis lebih cepat. Banyak pelajar yang pulang dari setiap sekolah mampir ke tempatnya. Dirinya sempat kepikiran untuk menjual minuman ringan juga namun tetap memanfaatkan buah kelapa sebagai rasa utama. Berdagang minuman jauh lebih laku ketimbang barang serba ada yang tersedia di dalam warungnya.

"Sepertinya aku perlu memesan buah kelapa lebih banyak," kata Cahyo pada dirinya sendiri.

Sibuk beres-beres sisa dagangan. Ada seorang pelajar yang datang menaiki sepeda.

"Ah sepertinya mau beli es degan juga—loh, Karto?"

Ternyata pelajar itu sangat tidak asing.

"Halo pak Cahyo."

"Nggak biasanya pakai seragam sekolah kesini. Ada perlu apa?"

Karto melihat meja dagangan es degan. "Itu minumannya masih ada kah?"

"Oh, baru saja habis. Kamu mau es degan ya?"

"Iya, pak. Beli satu ya?"

"Khusus kamu tidak perlu beli. Sebentar tak cari kelapanya ada apa tidak." Cahyo hendak pergi ke dalam warung. "Kamu duduk saja dulu di kursi dekat meja."

A Light Far in SightWhere stories live. Discover now