3. Ramify

3.3K 270 3
                                    

•••

Setelah diperbolehkan pulang oleh dokter, Lily kini tengah duduk di kursi rodanya untuk bersiap ke mobil. Sebenarnya, Lily masih bisa jalan sendiri, namun Gara tak mengizinkannya. Jadilah Lily terpaksa menurut menggunakan kursi roda.

"Nggak ada barang yang ketinggalan lagi, Ma?" tanya Sia. Gadis itu tengah berkutat dengan laci meja guna memeriksa ada barang-barang Lily yang masih tertinggal atau tidak.

Lily menggeleng. "Nggak ada, Sayang. Mama nggak bawa banyak barang ke sini."

Sia mengangguk, kemudian menutup laci meja. Gadis itu lantas memosisikan diri dibelakang kursi roda Lily. "Ya, udah. Sekarang kita ke mobil."

Lily tersenyum samar mendengar nada malas setengah kesal dari putri semata wayangnya itu. Lily tahu Sia masih kesal. Anggapan bahwa Lily sedang hamil yang ternyata salah, pasti membuat Sia malu.

Tapi, sejujurnya Lily juga tak kalah malu. Sia berpikir bahwa dia akan punya adik pasti karena tadi pagi Sia melihat Gara keluar dari kamar mandi yang habis dipakai Lily. Tentulah putrinya itu berpikir hal yang macam-macam. Apalagi Sia sudah beranjak remaja sekarang.

Kursi roda Lily berhenti bergerak saat sampai di lobby. Mobil Gara sudah menunggunya di sana.

"Mama, itu ada Tante Tere."

Ucapan Sia membuat Lily menoleh ke samping. Dia mendapati asisten pribadinya tengah berjalan mendekat.

"Saya mau izin pulang, Bu. Semoga lekas sembuh, ya." Tere tersenyum hangat pada atasannya itu.

"Iya, Re. Makasih ya, kamu udah repot-repot mau nganterin saya ke sini."

"Ah, nggak masalah, Bu. Itu sudah tugas saya," ujar Tere. "Kalau begitu, saya pamit dulu ya, Bu. Mari, Sia."

Sia membalas sapaan Tere dengan senyuman hangat. Gadis itu tahu, selama ini Tere lah yang selalu menemani ibunya saat bekerja di butik. Tere juga dikenal sebagai orang yang ramah dan cantik. Tidak heran sebentar lagi wanita 25 tahun itu akan segera dipersunting pujaan hatinya.

Setelah berpamitan dengan Tere, Lily dibantu Gara masuk ke mobilnya. Hari sudah malam. Dan besok Sia juga harus ke sekolah. Lily jadi merasa bersalah karena membuat repot suami dan anaknya. Dia pun berjanji setelah ini akan lebih menjaga kesehatannya.

"Aku tadi ngabarin Mama Karen," gumam Gara. "Dia malah mau ke rumah."

"Apa?" Lily mendesah. "Nggak usah. Aku udah sehat, kok."

Gara mengedikkan bahu. Entah ibu mertuanya sudah sampai di rumahnya atau belum. Kalau mau dicegah ke rumah pun, sepertinya akan sia-sia.

Benar saja, begitu memasuki basement rumah. Mobil ibu mertuanya sudah mendekam di sana. Karen memang sangat menyayangi Lily, sehingga dia akan bergerak cepat demi memastikan kesehatan anaknya.

"Tuh, mobil Mama." Gara harusnya tidak perlu memberi tahu Lily karena wanita itu juga sudah melihatnya.

Sebelum turun, Gara terlebih dahulu melongokkan kepalanya untuk mengecek keadaan mata Sia. Apakah masih terbuka atau justru sudah tertutup seperti waktu itu. Syukurlah Sia masih bangun. Gara jadi tidak perlu menggendongnya lagi.

"Lily!" seru Karen. "Kamu kenapa? Kok bisa sampe masuk rumah sakit?"

"Nggak apa-apa, Ma. Aku cuma kecapekan. Mama nggak perlu khawatir."

Karen menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ck-ck. Kamu ini udah tua. Masih aja banyak tingkah. Kecapekan ngapain, sih?"

Lily bergeming. Dia melirik suaminya, meminta untuk dibawa kabur kemana pun asalkan tidak mendengar omelan Karen lagi. Namun, hal tersebut justru membuat Karen salah paham.

A Time For JoyWhere stories live. Discover now