"Dia jahat banget...," lanjutnya meremas kertas-kertas itu.

Shinta yang hendak mengatakan sesuatu kembali menipiskan bibir. Mengelus pundak Raisa pelan, memberikan ketenangan.

"Coba sekarang kamu cari Agra," kata Shinta membuat Raisa menoleh.

Gadis itu terdiam.

Menarik napas perlahan, dan akhirnya memutuskan untuk mencari keberadaan Agra.

• • • •

Shinta menipiskan bibir, melangkah cepat keluar dari ruang cctv sekolah.

Harusnya tidak ada yang boleh memasuki ruangan itu selain penjaga sekolah, tapi dengan cara mengendap-endap akhirnya Shinta bisa memasuki ruangan itu, melihat data cctv di hari kemarin untuk mencari bukti.

Apapun alasannya, orang itu sudah keterlaluan.

Dia mengusik privasi Agra, dan membuat rumor yang tidak-tidak tentang dirinya dan Agra.

Shinta menggertakkan giginya, kali ini mengepalkan tangan kuat mengingat siapa yang terlihat memasuki kelasnya kemarin.

Langkah Shinta semakin cepat tatkala melihat kerumunan cowok-cowok yang baru saja keluar dari kelas.

Diantaranya, ada dia.

Sosok yang terlihat pada cctv memasuki kelasnya dengan beberapa lembar kertas di tangan.

"MINGGIR!"

Seketika gerombolan itu terdiam, menoleh sambil memberikan jalannya untuk Shinta yang melangkah dengan tangan terkepal, mata gadis yang terkenal humble dan murah senyum itu penuh akan sorot amarah. Membuat tak ada yang berani menyapanya seperti biasa.

Langkah kaki Shinta terhenti. Tepat di depan seorang siswa, yang terkenal akan prestasinya membawa nama sekolah menjurai berbagai olimpiade.

Arnanda Nevan Prasetya.

Keduanya bertatapan untuk beberapa detik.

Sebelum akhirnya kepalan tangan Shinta datang, menghantam keras-keras rahang kiri Nevan.

• • • •

"Agra ... kamu kemana sih?" gumam gadis itu pelan.

Ia mencari ke tempat-tempat biasanya Agra berada. Jangan tanya kenapa Raisa tahu, karena selain dua tahun menyimpan rasa diam-diam, ia juga sering mengunjungi tempat yang sering Agra kunjungi.

Seperti taman belakang, ruangan lab IPA, perpustakaan sampai UKS.

Namun, kali ini ... Agra tak ada di sana.

Sampai ketika Raisa hampir putus asa, ia menemukan ujung sepatu Agra terlihat di balik tembok gudang belakang sekolah.

Raisa menghampiri, mendapati Agra tengah berjongkok serasa menenggelamkan wajahnya di antara lutut yang terlipat.

Tubuh cowok itu bergetar.

"Gra ...," panggil Raisa.

• • • •

Hujan di Jakarta sudah berhenti sejak setengah jam yang lalu. Dan selama itu pula dua manusia yang tengah duduk di bangku semen dekat gudang tenggelam di dalam keterdiaman.

Keduanya hening.

Hanya terdengar napas masing-masing.

"Gra." Dan Raisa mulai buka suara. "Kamu ada masalah?" tanyanya yang hanya di balas oleh keheningan.

Agra bungkam, menunduk ... tak berani menatap Raisa sama sekali.

"Kamu dihukum sama orang tuamu?" tanya Raisa tak menyerah.

"Gra?"

Hening.

"Enggak, Sa."

Aku enggak dihukum sama papa mama.

"Bukan mereka."

Tapi Tuhan.

"Tuhan ngehukum aku, Sa."

Agra kira dia dulu bersikap dermawan, tapi nyatanya ia dulu hanya suka foya-foya. Tanpa tau jika semua itu hanya titipan.

Ketika ia memiliki semuanya, Agra tak memanfaatkan sebaik mungkin.

Tak menggunakan itu untuk masa depan.

Tapi hanya menggunakan semuanya untuk kesenangan yang sesaat.

Agra kira, ia akan selalu memilikinya. Ia akan selalu menjadi orang 'punya'. Tapi sekali lagi, Agra lupa.

Bahwa yang ia miliki itu hanya titipan.

Hingga ketika semuanya diambil, Agra tak punya apa-apa.

"Uang yang dulu aku bangga-banggakan, sekarang hilang, Sa."

Agra menundukkan kepalanya semakin dalam. Bahkan untuk meneteskan air mata saja dirinya sudah tidak bisa, karena sesal di dalam hatinya lebih besar dari apapun.

Harusnya, Agra memanfaatkan uangnya untuk merajut masa depan.

Harusnya Agra menggunakan uangnya untuk belajar skill baru.

Bukan hanya untuk senang-senang, membeli barang ini itu yang bahkan semakin lama akan hilang.

Harusnya Agra menggunakan uangnya untuk mencari ilmu baru, agar ketika uangnya hilang ... ia masih punya investasi berupa ilmu untuk mencari uang.

Tapi sekali lagi. Agra tak tau, jika akan ada masanya perusahaan orang tuanya mengalami kebangkrutan. Mamanya sakit-sakitan, dan papanya pergi keluar negri untuk mencari uang ... untuk membayar hutang-hutang yang menghantui.

Agra menarik napasnya dalam, lantas mengembuskannya berat.

Cowok itu menoleh, menadang Raisa dan menarik kedua ujung bibirnya. "Makasih, Sa."

"Aku tau, berat buat ngasihㅡmaksudku ngutangin pulsa dengan nominal banyak pada seseorang."

"Makasih, kamu udah percaya sama aku."

"Makasih kamu udah mau bantuin aku."

Raisa terdiam. Tak tau harusnya mengucapkan apa sebagai balasan.

"Gra ...," panggil Raisa. "Kalau boleh tau ... kamu ... hm ... pulsa sebanyak itu, buat apa?"

"Buat menelpon papa."

Agra tersenyum. Namun, sesuatu yang berbeda menyorot lewat matanya.

Ada luka di sana.

Tapi Agra mau terlihat baik-baik saja.

"Mamaㅡ" Ucapan Agra terhenti tatkala tiba-tiba ponselnya berdering. Agra merogoh saku celananya, mengambil benda pipih itu melihat siapa yang menelpon.

Suster Rika Calling ....

Jemari Agra pun bergerak menggeser pilihan berwarna hijau. Menerima panggilan itu.

"Halo, Sus. Ada apa?"

Tak langsung ada jawaban dari seberang.

"Gra ... Kamu harus kuat ya." Dan suara pelan itu langsung membuat jantung Agra berdetak tak beraturan.

Kenapa ....

Terdengar helaan napas berat dari Suster Rika. "Mama kamu ... enggak ngerasa sakit lagi, Gra."

Tangan Agra mengepal. Kakinya melemas, jantungnya berdebar tak tenang menunggu lanjutan orang yang menelponnya itu.

"Dia udah tenang, Gra."

Bukan. Bukan kalimat itu yang ingin Agra dengarkan.

Tuhan ....

Bahkan untuk bernapas saja, kini dada Agra sudah terlalu sesak.

Kenapa hari ini begitu berat?

Agra, Rasa, dan Raisa (End)Where stories live. Discover now