71 || Amnesia

Mulai dari awal
                                    

Berdiam sedari tadi, Zelfan dan Ragil menghela nafas panjang mereka. Keduanya hanya menonton dengan tenang perkelahian yang barusan terjadi di depan mereka tanpa ada niat mencampuri ataupun memisahkan Rakael dan Gidar.

Ragil berdiri dari duduknya melihat Zelfan lalu memberikan isyarat dengan dagu nya melirik Rakael. Cowok itu berlalu pergi menyusul Gidar.

"Ke UKS!" ujar Zelfan datar tanpa ada niatan membantu Rakael.

"Gue bisa sendiri." balas Rakael berjalan melewati Zelfan.

"Nggak usah ngeyel." Zelfan mengambil sebelah tangan Rakael, menggandengnya. Zelfan tahu bahwa sahabatnya ini lagi menahan sesuatu.

Disaat melewati koridor sekolah, Rakael dan Zelfan menjadi pusat perhatian para siswa-siswi. Terlebih para murid perempuan langsung berbisik-bisik melihat kedua cowok datar itu tengah bergandengan, memandang keduanya dengan tatapan gemas.

"Zelfan perhatian banget, ih."

"Demi apa? Dua cowok datarable SMA Taruna Nusantara gandengan?"

"Pengen juga di gandeng."

"Lucu,"

"Lepasin, Fan. Gue bisa jalan sendiri!" Rakael mendengus mendengar bisikan-bisikan heboh yang terdengar konyol baginya.

Saat itu juga Zelfan melepaskan tangannya dari bahu Rakael. Berjalan di samping Rakael dengan wajah yang tak kalah datar dari Rakael.

"Loh? Kalian kok masih disini?" tanya Alika ketika berpapasan dengan Rakael dan Zelfan di tangga.

Di sebelah Alika, Chika mengernyit melihat wajah Rakael yang terdapat memar di sudut mata juga bibirnya yang robek. Dalam hatinya bertanya-tanya, namun sedetik kemudian ekspresi gadis itu langsung berubah cuek nan dingin seperti biasanya.

"Lo berdua nggak denger kabar Gavin?"

***

Zelfan, Gidar dan Ragil berlari di sepanjang koridor rumah sakit menuju ruangan Gavin dengan perasaan gelisah dan tak karuan mereka. Kedua cowok itu segera meninggalkan sekolah ketika mendengar kabar tentang sahabat mereka.

Sesampainya di ruangan tersebut langkah keduanya memelan ketika melihat Oma Kelly menangis di pelukan Sisil.

"Oma tenang. Gavin pasti baik-baik aja." ujar Sisil menenangkan sang Oma.

"Kak Sisil, Oma Kelly... Gavin gimana? Operasi nya lancar kan, kak? Dia udah sadar kan?" tanya Gidar tak tenang.

Sisil menoleh kearah ketiga sahabat Gavin. Diam, tidak menjawab pertanyaan Gidar. Mulutnya terasa keluh, kedua mata nya pun sudah berkaca-kaca.

"Nggak! Ini nggak mungkin! Gavin nggak─ARGHHH!" Gidar meninju dinding rumah sakit kuat, hingga buku-buku jarinya langsung memar.

"Dar lo nggak boleh kaya gini!"

"Ini semua gara-gara gue. Coba aja gue nggak biarin Gavin pergi sendiri malem itu." jerit Gidar menjatuhkan dirinya ke lantai. Gidar kembali menyalahkan dirinya.

"Lo nggak boleh nyalahin diri lo terus, Dar. Gimanapun semuanya udah terjadi." ujar Ragil meletakkan tangannya di pundak Gidar yang bergetar.

Cowok itu menangis.

"Gavin udah ninggalin kita, Gil." lirih Gidar menundukkan kepalanya dalam.

"Doker gimana kondisi Gavin, dok? Dia baik-baik aja kan" tanya Sisil ketika sang dokter keluar dari ruangan Gavin.

Garis Takdir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang