"Abang," Dirga tergagap. "Ada urusan kampus yang gak bisa ditinggalin. Qila tahu kan akhir-akhir ini abang sering bolak balik bimbingan tugas akhir?"

"Sampai gak bisa angkat telepon barang semenit? Padahal hape abang On terus meski udah di telepon Daniel berkali-kali."

Jantung Dirga tertohok ia tidak mungkin jujur bahwa ia sendiri memang mengabaikan semua panggilan dari Daniel. Tidak ada rasa penasaran atas panggilan tersebut karena ia masih menyimpan emosi atas perkara tempo lalu yang membuat harga dirinya jatuh.

"Maaf Qi." Pada akhirnya Dirga hanya bisa menunjukkan rasa sesal tanpa penjelasan apapun. "Seharusnya abang bisa neken ego abang buat jawab panggilan Daniel."

"Berarti abang sengaja gak angkat telepon itu, kan?" Tenggorokan Qila pahit. "Kenapa harus segitunya sih? Gak bisa kah abang maafin semua kesalahan Daniel?"

"Qila sakit apa?"

"Jawab dulu pertanyaan aku."

"Qi jangan tanya hal lain dulu buat sekarang, kondisi kamu gimana, abang khawatir sama kamu."

"Adik abang kan bukan cuma aku," ujar Qila sambil menundukkan kepala. "Apa Daniel sama Saka perlu sakit dulu biar dapet perhatian abang kayak aku?"

Dirga kembali tertohok pada setiap kalimat yang Qila ucapkan. Tangan Qila mengelus lembut genggaman Dirga.

"Qila tahu jadi anak pertama pasti berat. Abang harus nanggung ekspektasi dari orang lain, abang harus urus diri sendiri dan mikirin adik-adik abang yang lain, pasti berat kan?"

Kedua bola mata Dirga memanas mendengar penuturan Qila yang begitu lembut. Tidak ada marah dalam nada bicaranya, Qila tidak menghardik Dirga seperti yang lainnya, akan tetapi setiap kalimat yang Qila sampaikan menikam jantungnya pada dasar yang paling dalam.

"Abang boleh kok pergi sejauh apapun, gapai mimpi abang, bahkan kejar seseorang yang abang cinta siapapun itu Qila pasti dukung. Asal abang jangan lupa kalau abang masih punya rumah, kalau Bang Dirga gak pernah sendirian selama ini, dan abang gak harus simpan semua beban sendirian. Bang Dirga masih punya Qila buat dijadiin tempat cerita, kita bisa jadi tempat bersandar satu sama lain."

Dirga menoleh dengan cepat.

"Gak ada apapun yang bebanin abang Qi. Kamu benci rumah kan? Kamu selalu takut setiap kali ayah pulang ke rumah, abang cuma berusaha biar biar kamu bisa cepat ikut abang pergi dari rumah."

Qila menggeleng. "Setelah pergi dari rumah apa abang pikir aku bakalan baik-baik aja? Apa abang pikir itu bisa buat ayah nyesel?"

"Seenggaknya kamu bakal punya kehidupan yang lebih layak, Qi."

"Apa abang bisa jamin kebahagiaan aku kalau ikut sama abang? Banyak hal yang bikin aku marah sama ayah tapi gimanapun ayah tetap orang tuaku."

Inilah Qila dengan segala pemikiran naifnya. Qila yang selalu menepis perasaannya sendiri hanya untuk memikirkan orang lain. Tidak peduli sudah berapa banyak luka yang ia terima, dalam sudut hatinya selalu ada ruang untuk sebuah 'kesempatan'.

"Disaat ayah marah apa abang ada disana buat bela aku?"

"Apa abang pernah nonjok ayah kayak yang Daniel lakuin buat bela aku? Apa abang pernah obatin luka aku kayak yang Saka lakuin? Abang gak pernah ada bahkan di situasi yang paling aku butuhin sekalipun. Gimana bisa aku gantungin kebahagiaan sama abang yang seperti itu?"

Sesuatu yang retak terdengar dalam hati Dirga.

"Abang-"

Suara tamparan begitu nyaring menggema dalam kamar inap Qila. Dirga menampar dirinya sendiri berkali-kali sampai telinganya berdengung. Pipinya panas tapi tak cukup panas dengan isi hatinya yang kewalahan menerima semua kalimat Qila.

Paradise (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang