Meskipun hatinya sakit tapi Qila coba untuk berbesar hati. Tidak apa-apa ini bukan kali pertama Qila tidak diajak pergi. Bukan masalah besar.

"Bawain aku boneka ya dari sana," pinta Qila pada akhirnya.

"Ih kenapa aku harus bawain kamu boneka."

"Hari ini aku juga ulang tahun." Qila menunjuk dirinya sendiri. "Kado."

"Gak ah." Daniel melengoskan kepala angkuh. "Minta ke ayah aja sana."

Kepala Qila menunduk lesu, dia saja tidak diajak pergi ke dufan bersama yang lain, bagaimana mungkin meminta kado pada ayah pasti akan kena marah juga nantinya.

"Ya udah deh," putus Qila pada akhirnya.

Qila berbalik hendak pergi ke kamarnya dan mengurung diri. Hari ini adalah ulang tahun terburuk yang pernah ia rasakan.

"Makanya suruh siapa kamu bodoh." Daniel berdecih dengan kedua tangan di dada.

"Diantara semua anak ayah, cuma kamu yang gak punya prestasi. Kamu kaya bukan anak ayah."

Sore menjelang malam suara mobil ayah terdengar memasuki pekarangan rumah. Qila bergegas turun dari kamar, mengintip siapa tahu ayah membawakan hadiah untuknya.

"Bi tolong panggil Qila."

Hampir saja Qila memekik senang, ayah meminta tolong pada Bi Iyem untuk memanggilnya pasti karena hadiah.

"Minta dia bawa hasil ujiannya juga, saya tunggu di ruang makan."

Bahu Qila beringsut turun. Semangatnya meredup, "Bukan hadiah ya."

Sesampainya di ruang makan hanya ada ayah seorang. Mata Qila menelisik sekitar barangkali ada satu saja benda yang ayah bawa sebagai kado untuknya.

Nihil.

"Bagaimana bisa kamu gak ada peningkatan Qila?" Akbar menatap hasil ujian anaknya itu keheranan. "Saka bahkan bisa dengan mudah menjawab soal ini."

Kalau ditanya seperti itu Qila pun bingung sendiri menjawabnya. Bagaimana ya? Habisnya Qila sudah berusaha tapi tak ada yang terserap ke otaknya sama sekali.

"Mulai minggu depan kamu ikut les tambahan lagi."

"Tapi Qila udah dapet 3 les ayah."

"3 les dan kamu masih kurang."

Qila menunduk sedih.

"Keberhasilan hanya datang pada mereka yang mau bekerja keras," ujar ayah tegas.

"Tapi ayah ajak Saka dan abang-abang ke dufan, cuma Qila yang gak diajak."

"Mereka bermain karena ayah mengapresiasi hasil ujian yang bagus."

"Oh, Qila harus dapet nilai 100 dulu biar bisa main sama ayah?" tanya Qila kecil sambil tersenyum sedih.

Akbar tak menjawab sehingga membiarkan Qila berasumsi sendiri dengan pikirannya.

"Kalau Qila gak pernah dapat 100 berarti gak akan main sama ayah ya?"

Jemari kecil Qila mengetuk diatas meja makan. Kegelisahan terpatri di wajahnya yang manis. "Maaf ayah."

Akbar merasa hatinya teremas sesaat. "Kenapa minta maaf."

"Karena belum bisa dapet nilai 100. Qila belum buat ayah bangga."

Hari itu entah ekspresi seperti apa yang Akbar tampilkan. Sejak percakapan terakhir kali dengan Qila, anak perempuannya berubah menjadi sedikit pendiam.

Lampu kamar yang biasanya mati sebelum jam 10 malam kini selalu menyala hingga larut. Qila tak lagi menanyakan kapan Akbar memiliki waktu untuk bermain bersamanya.

Paradise (Segera Terbit)Where stories live. Discover now