Qila balas menatap Angkasa hingga kedua pasang mata hitam itu seolah menenggelamkannya.

"Mungkin," gumam Qila kecil. "Mungkin bagi kamu nilai gak lebih berarti dari apapun."

Qila lebih dulu memutus kontak mata, memundurkan kembali bangku sampai membuat jarak yang cukup jauh.

"Tapi sebagian orang gak punya garis finish karena mereka gak pernah lewatin start. Kamu tau kenapa?"

Qila menjeda ucapannya karena merasa risih dengan tatapan anak-anak lain yang tertarik dengan interaksinya dengan Angkasa.

"Hidup mereka diatur untuk terus bergerak sampai lewat dari batas, sampai gak ada yang bersisa. Jadi bagi aku, nilai ini penting karena gak ada hal yang bisa aku kasih selain nilai."

Angkasa bergeming. "Usaha lebih penting dari apapun, lo gak bisa paksa seekor ikan buat naik ke atas pohon. Dia gak bisa bukan berarti dia bodoh, kan? Ada kalanya lo harus tahu kapasitas diri sendiri."

Jelas Qila sudah terlalu menekan dirinya selama ini. Entah kehidupan macam apa yang sudah gadis itu jalani, sampai pada konsep sederhana saja gadis itu tak mau menerimanya.

"Lo bisa buat ayah lo bangga, La."

"Ayah lo harusnya bangga sama usaha yang lo buat, bukan hasil akhir yang lo dapat."

Qila meremat kertas ulangan ditangannya. Ucapan Angkasa ada benarnya juga.

Baiklah, sore nanti Qila akan coba berbicara dengan ayah. Mungkin saja kali ini akan ada kalimat bangga yang ayah ucapkan untuknya.

Seperti yang Angkasa bilang bahwa yang terpenting dari segala hal adalah usaha.

***

"Den Saka enggak sekolah?" Bi Iyem datang dari depan sambil membawa koran baru. "Sakit?"

"Kurang enak badan."

Bi Iyem mengangguk paham. "Mau bibi masakin bubur buat sarapannya?"

Saka menggeleng. "Gak perlu, bi."

"Oh ya udah atuh, bibi di dapur ya takut butuh apa-apa."

Saka mengangguk sekali lalu kembali fokus mencari channel televisi yang akan ia tonton hari ini.

"Bi," panggil Saka, Bi Iyem yang masih membereskan beberapa barang dekat meja televisi menengok.

"Kemarin Qila berobat sama bibi, kan?"

"Iya, kenapa den?"

Saka berdeham sekali mengusir canggung. "Qila... sakit apa?"

"Naon ya? bibi juga kurang paham. Tapi kemarin teh Neng Qila dirujuk ke dokter On-naon kitu hilap bibi."

"Dirujuk?" Saka mengerutkan keningnya. "Bukan ke dokter umum biasa?"

"Tadinya mah emang ke dokter umum biasa. Tapi dokter umum malah rujuk neng Qila ke dokter spesialis naon ya aduh, lupa."

Jantung Saka berdebar kencang tiba tiba. Perasaan mengganjal menyusup ke dalam hatinya.

"... den?"

"Den Saka?"

Saka terperanjat dari lamunannya begitu Bi Iyem datang menghampiri dan memegang pundaknya.

"Ya?" tanya Saka linglung.

"Pucet pisan mukanya, beneran gak mau berobat aja?"

Saka menggeleng, ia memijit pangkal hidung pelan sambil berusaha menenangkan debaran jantungnya.

Paradise (Terbit)Where stories live. Discover now