Qila menggeleng sambil tertawa kecil. "Jadi maksud ayah foto bunda yang begitu aku jaga, foto perempuan yang udah lahirin aku ke dunia ini, foto yang cuma bisa aku tatap saat kangen sosoknya seenggak-berharga itu buat ayah?"

Kamar loteng yang jarang digunakan itu tampak berdebu pada setiap ujung temboknya. Qila meremat dadanya yang nyeri karena memaksa berbicara.

Selalu. Setiap kali berdebat dengan ayah Qila pasti akan menangis alih-alih mengeluarkan semua kegelisahan hatinya.

"Ayah... Qila gak akan sanggup liat bunda diejek meski berupa foto."

"Qila salah udah bikin dia terluka. Tapi gimana sama perasaan Qila?"

Qila menangis dengan posisi seperti bersujud membenamkan wajahnya diantara lipatan paha. "Qila salah... Qila salah ayah."

Ekspresi Akbar sedikit melunak tapi tak ada sedikitpun niat untuk menenangkan anak perempuan satu-satunya itu. Dia hanya memalingkan wajah dengan perasaan dingin.

"Jangan keluar sampai ayah jemput kamu keluar," ujar Akbar sebelum akhirnya pergi.

Tidak ada kalimat menenangkan atau tepukan halus yang Qila dapat. Dia ditinggalkan di ruangan gelap, sempit, dan berdebu ini seorang diri.

Tidak ada yang memeluk Qila sehangat ia memeluk dirinya sendiri.

***

Hari sudah semakin sore Saka pulang bersama Dion untuk main di rumahnya. Kening Saka berkerut melihat mobil hitam ayahnya sudah terparkir rapih di garasi.

"Lah tumben bokap lo di rumah," celetuk Dion yang rupanya sama herannya.

Saka berdeham dan mengangkat bahunya sambil lalu. Terlihat tak terlalu memusingkan keberadaan ayahnya itu. Tumben sekali rumah ini sepi, biasanya selalu ada suara cempreng milik Qila yang akan menyambut kepulangan Saka.

Yah, tidak buruk juga. Artinya telinga Saka bisa beristirahat sejenak dari suara bising itu.

"Gue langsung ke kamar lo aja ya."

"Hm," sahut Saka menyetujui.

Dari luar terdengar suara motor Daniel yang nampaknya dia juga pulang lebih awal dari biasanya. Saka berlalu membuka kulkas dan mengambil air dingin untuk melepaskan dahaga. Tanpa sadar matanya menelisik ke seisi rumah karena Qila tak kunjung menampakan diri.

belum pulang? batinnya.

"Kemana si cempreng?" Daniel masuk dengan menenteng makaron warna warni. "Tumben suara toa nya ilang."

"Gak tau," jawab Saka tanpa minat.

Daniel menipiskan bibirnya dan berjalan naik ke lantai dua. Dia mengetuk beberapa kali pintu kamar Qila tapi tak kunjung mendapat sahutan. Pikirnya Qila masih marah soal pertengkaran tadi pagi dengannya. Daniel marah bukan tanpa sebab, ia sadar perkataannya sudah sangat keterlaluan.

"Qi nih gue bawain makaron kesukaan elo." Daniel mencoba mengetok kembali pintu kamar Qila namun tetap tak ada jawaban.

"Ck. Pundungan amat sih," omel Daniel berbicara seorang diri dengan pintu kamar Qila. "Gue makan semuanya kalo pintunya gak lo buka."

"1

2

Ah lama!" Daniel yang kesabarannya setipis kertas itu akhirnya menyerah membujuk Qila.

Sayangnya Daniel tidak mengetahui bahwa tidak ada siapapun di kamar yang ia gedor sedari tadi. Karena Qila masih menjalankan hukumannya di kamar loteng.

***

"Den Saka disuruh bapak turun buat makan malam." Bi iyem mengetuk pintu kamar Saka.

"Ya bi," sahut Saka dari dalam kamar.

Makan malam bersama. Sudah lama Saka tidak ikut makan malam bersama. Terlebih lagi ia terbiasa makan telat dan menunggu semua anggota keluarganya makan.

"Turun, makan," ajak Saka pada Dion yang selonjoran di atas kasur.

"Asik makan gratis. Eh kembaran lo ada di rumah kan ya?"

"Mau apa lo?" sewot Saka.

"Kagak njir nanya doang galak amat. Udah lama gak liat si Qila, sekolah dimana dah dia sekarang?" Kepo Dion.

"Bukan urusan lo, cepet turun." Saka berlalu meninggalkan kamar.

Kedua tangan saka masuk kedalam kantong celana. Matanya melirik pada pintu kamar Qila yang setiap hari terkunci rapat. Tak pernah ada seorangpun yang masuk ke dalam kamar itu.

Kecuali bunda dan Bi iyem.

Mungkin Qila sudah lebih turun, anak itu pasti menjadi orang yang paling semangat jika makan malam bersama.

Di meja makan sudah terdapat ayah, Daniel, dan juga Dirga. Kening Saka berkerut tumben sekali Dirga yang jarang pulang sudah duduk di meja makan.

"Mana teman kamu Ka?" tanya ayah.

"Sebentar lagi turun."

Ayah mengangguk paham dan tak bertanya lebih.

"Malam om, Bang dirga bang Daniel." Dion turun dengan langkah canggung karena suasana ruang makan yang dingin.

Dirga dan Daniel menjawab dengan dehaman dan senyum tipis.

"Duduk Yon." ajak Akbar.

Dion duduk disebelah Saka mata menelisik sekitar namun meja makan hanya terisi oleh laki-laki.

"Gimana sekolah kalian?"

Bola mata Dion bergerak pelan dari kiri ke kanan, tak ada satupun orang dari tiga bersaudara itu yang berkeinginan menjawab pertanyaan Akbar.

"Kalau kamu Dion, gimana sekolah kamu?"

Dion berdeham kecil. "Aman aman aja om. Sekarang juga mulai sibuk sama urusan ekskul," jawab Dion.

"Baguslah."

Setelah itu hanya keheningan yang mengisi ruang makan. Tidak ada percakapan hangat atau sebagainya.

"Bi iyem!" panggil Akbar.

"Ya tuan." Bi iyem datang dengan wajah sembab memerah.

Saka, Dirga dan Daniel memperhatikan baik-baik wajah Bi iyem yang sembab.

"Makanan untuk Qila sudah dipisahkan?" tanya Akbar.

Bi iyem mengangguk. "Sudah."

"Taruh saja di meja biar saya sendiri yang ke atas."

Saka sontak menatap wajah Akbar dengan ekspresi tidak terbaca. Ke atas? Saka jelas paham apa maksud dari perkataan itu.

"Kalian teruskan makannya," ucap Akbar lalu berlalu dengan nampan di tangan.

Bi iyem masih berdiri dekat meja makan, wajahnya kian sedih melihat kepergian Akbar.

"Ada masalah apa lagi bi?" Dirga bertanya cemas.

"Saya juga gak tahu den."

Saka menepuk bahu Dion lalu menyuruh cowok itu naik membawa makannya ke kamar. Dion menurut tanpa bantahan menyisakan empat orang di ruang makan.

"Bapak dateng sambil nyeret neng Qila, bibi gak tega liat mukanya nangis kaya gitu den."

"Kapan?" Daniel bertanya dengan dingin. "Kapan dia pulang?"

"Kurang lebih dari jam sembilan pagi, saya kira bapak ada keperluan mendadak makanya pulang pagi. Tas sekolah neng Qila sampe dibawain temennya pulang, dititip ke Tejo di depan," ungkap Bi iyem panjang lebar.

Dirga mengacak rambutnya kasar. "Dipukul sama ayah?"

"Kurang tau sepertinya iya den."

Dirga diliputi perasaan bersalah. "Ya sudah nanti biar saya bicara sama ayah."

"Hatur nuhun pisan den."

"Ck." Daniel berdecak dan pergi meninggalkan ruang makan begitu saja.

Jadi anak itu bukan sengaja tidak membuka pintu?





....

Paradise (Segera Terbit)Where stories live. Discover now