"Bang kok Qila dicuekin."

Dirga masuk ke dalam rumah dan melempar tas kuliahnya asal. Dia memijit kepalanya yang pening sambil merebahkan diri diatas sofa ruang tamu.

"Abang capek ya? Mau Qila pijetin? Kata Bi iyem pijetan Qila mantep lho!" ungkap Qila ceria.

Dirga menggeram rendah dengan mata terpejam. "Jangan sekarang, Qi. Abang capek."

"Ya makanya sini aku bantuin pijat." Qila keukeuh pada kemauannya.

Sebenarnya jarang sekali Qila bertemu Dirga yang lebih suka menghabiskan waktu diluar rumah semenjak memasuki bangku kuliah.

Qila tahu kalau Bang Dirga pasti lelah karena berbagai masalah. Tapi Qila juga sangat jarang menghabiskan waktunya berdua bersama Dirga. Dulu Dirga adalah abang yang sangat peduli dengannya.

Qila rindu masa-masa itu, Qila tak ingin merebut waktu Abangnya yang sudah beranjak dewasa. Dia hanya ingin Dirga membagi sedikit saja porsi waktunya untuk dihabiskan bersamanya.

Jika tak bisa setengah dari waktunya maka sepertiga dari itupun tak jadi masalah.

"Ayo dong bang." Qila menarik baju Dirga berberapa kali agar Dirga mau menatapnya. "Banyak yang Qila mau ceritain ke abang. Nanti keburu abang pergi ke kampus trus gak sempet lagi."

"Bang...." rengekan Qila mengganggu Dirga.

"DIAM QILA! GAK PUNYA TELINGA KAMU!" bentak Dirga kehilangan kesabaran. "NGGAK LIAT ABANG CAPEK HAH!?"

Pikirannya sedang rumit saat ini, Dirga sengaja pulang untuk menjernihkan pikiran malah direcoki oleh kehadiran Qila yang tidak bisa membaca situasi.

"Gak usah kaya anak kecil. Pergi sana jangan ganggu abang!" usir Dirga tajam.

Qila meremat sofa dengan kedua tangan menahan kekagetannya. Matanya bergetar dibentak sekencang itu oleh Dirga yang tak pernah berlaku kasar padanya.

Dengan perasaan sedih Qila berlari menuju kamarnya sambil menutup bibir menahan tangis. "Abang berubah."

Dirga mengangkat sebelah tangan menutupi mata. Memang salahnya karena dulu terlalu memanjakan Qila sehingga anak itu jadi bertingkah seenaknya.

"Ck."

***

Daniel pamit pada pulang karena sudah terlalu sore. Hari ini ayah akan berada di rumah, bisa gawat urusannya jika Daniel ketahuan belum pulang.

"Oi gua cabut duluan ya!" Tangan Daniel terangkat naik.

"Cepet amat pulangnya lu." Salah satu teman Daniel menimpali.

Daniel tertawa kecil. "Biasalah bapak negara balik, kalau gak cabut sekarang atm gua kena blokir nanti."

"Yahhhh sono lu pulang jangan ampe kena blokir. Gak ada yang traktir lagi nanti," ujar Gian terang-terangan.

"Sialan lo!" Daniel menggeleng geli namun tak merasa tersinggung.

Baginya disini adalah keluarga yang sebenarnya. Daniel benar-benar merasa hidup bersama mereka, menghabiskan waktu bersama dan bercanda hingga melupakan masalahnya.

Anggaplah mereka pelarian Daniel karena dia bisa dengan bebas menjadi dirinya sendiri tanpa harus berpura-pura bahagia.

Mereka paham kapan Daniel bahagia, sedih, atau marah. Mereka tak memaksa Daniel untuk bercerita tapi menunggu dia sampai mau membuka diri dengan sendirinya.

Semenjak kepergian bunda hidup Daniel menjadi kosong. Ia butuh tempat untuk menyalurkan rasa kosong itu dan syukurnya Daniel bertemu orang-orang yang tepat.

"Na balik bareng gue?" ajak Daniel pada seorang gadis manis berkuncir kuda.

"Boleh deh tapi anter gue ke alfa dulu," ujar Rena.

"Ashiapppp meluncur."

Terlebih lagi ada Rena, gadis manis yang membuat hidup Daniel seakan sempurna. Daniel merasa tak ada lagi yang kurang meski ayah mengabaikan kehadirannya.

Lebih tepatnya semua anak-anaknya.

"Lo gak mau beli cemilan?" tawar Rena pada Daniel yang berdiri dibelakangnya.

"Buat apaan?"

"Siapa tau adek lo butuh. Sekali-kali beliin dia gak bikin dompet lo kering kok."

Daniel menolak langsung tanpa pikir panjang. "Enggak usah lah, mereka punya kaki bisa beli sendiri."

Rena berdecak kecil. "Gak perhatian lo sama adik sendiri."

"Gue perhatian sama lo doang soalnya." Daniel mesem mesem sendiri dengan ucapannya.

"Alay," cibir Rena.

Mereka bercerita riang sepanjang jalan menuju rumah Rena. Daniel bisa sangat menjadi terbuka pada Rena jika mereka sudah berdua saja. Rena menjadi pendengar terbaik yang sangat Daniel percaya lebih dari siapapun.

Baik Rena maupun Daniel mereka semua seperti sepasang orang yang saling melengkapi. Sampai di depan rumah Rena turun dibantu Daniel.

"Nih." Rena menyodorkan dua buah cokelat pada Daniel yang mengerutkan kening.

"Buat?"

"Adek-adek lo. Ada dua, kan?"

"Ya tapi ngapain sih hahaha aneh lo." Daniel menggeleng tak paham dengan maksud Rena.

"Niel." Rena menepuk pundak Daniel lalu tersenyum hangat. "Lo nyaman main sama anak-anak?"

"Nyaman lah mereka udah gue anggep keluarga. Buat apa gue bertahan kalau emang gak nyaman, ngaco lo ah."

"Jangan salah kaprah. Yang asing lo anggap keluarga yang keluarga lo anggap asing." Rena mengingatkan Daniel. "Gue sama yang lain seneng lo bisa terbuka sama kita, tapi inget Niel diluar semua itu lo masih punya keluarga yang harus jadi prioritas lo dulu."

"Gue masuk ya titip salam buat adek lo." Rena melambaikan tangannya beberapa kali sebelum menghilang dari balik pagar rumahnya.

Daniel terpaku sambil memandangi dua buah cokelat di tangannya. Hati Daniel terasa seperti tertikam benda tak kasat mata.

Rena

jangan keras² ke diri lo ya niel
hati hati dijalan
kabarin gue kalau udh nyampe rumah ok?





.....

Paradise (Segera Terbit)Where stories live. Discover now