🩸 Chapter 9 🩸

1K 90 5
                                    

Happy reading and enjoy~

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Happy reading and enjoy~

Tidak, bukan hanya satu. Melainkan banyak yang terkena racun karena meminum darah ibu angkatnya. Lain halnya dengan bangsa manusia yang menganggap ibu angkatnya sebagai pahlawan, karena telah meruntuhkan beberapa bangsa vampire, bangsa vampire sebaliknya.

Mereka mulai memburu manusia-manusia yang dijadikan sebagai alat untuk memburu  vampire. Mereka mulai mengumpulkan manusia tunarungu, tunawicara dan manusia-manusia yang tidak sempurna.

Luke tidak bisa melupakan wajah ibunya ketika dibunuh. Bukan wajah yang penuh dengan kesakitan, melainkan senyuman, mengapa wanita itu masih bisa tersenyum ketika berada dalam keadaan genting? Mengapa wanita itu bisa tersenyum di saat dirinya dalam bahaya? Terlebih, mengapa wanita itu bisa terenyum ketika ingin meninggalkannya. Bukankah ibunya terlalu jahat?

Markas vampire sendiri dijaga ketat, ia akan kalah jika nekat menerobos kerumunan vampire dan menyelamatkan ibunya. Saat itu yang ada dipikirannya hanyalah melihat ibunya untuk terakhir kalinya. Ia akan mengingat wajah kesakitan ibunya agar memiliki alasan kuat untuk membenci bangsanya sendiri.

Tapi nyatanya, ibunya terlalu baik dengan memberikan senyuman kepada vampire. Tidak perlu berteriak untuk meminta tolong, Luke tahu ibu angkatnya bisu, ia hanya ingin ibu angkatnya kesakitan. Kenapa ibunya seolah-olah menerima semua perlakuan kasar yang terjadi padanya.

Saat itu tubuhnya ditahan, Luke juga tahu bahwa ia tidak bisa melawan para vampire yang lebih tua darinya. Seharusnya ia bisa lebih kuat agar bisa memusnahkan orang-orang yang telah membunuh ibunya. Anehnya, karena hal itu ia malah membenci manusia, bukan bangsanya sendiri.

Manusia terlalu bodoh, termasuk ibunya sendiri yang tersenyum ketika dibunuh. Manusia terlalu lemah dan ia benci kelemahan. Seharusnya ayahnya tahu hal itu.

Luke melempar tubuh Jane ke atas ranjang, tidak perlu cara lemah untuk membangunkan orang yang pingsan. Sudut bibir gadis itu masih menyisakan darah, sementara wajahnya berubah pucat. Luke membungkukkan tubuhnya, ia menyentuh darah di sudut bibir Jane, lalu mencicipinya.

Tidak seperti vampir lain yang akan keracunan jika meminum darah manusia yang tidak sesuai dengan pembuluh darah mereka, Luke berbeda. Sebenarnya ia juga tidak bisa meminum darah manusia sembarangan, tetapi ia bisa menahan nya. Daya tahan tubuhnya lebih kuat dibanding vampir-vampir yang lain.

Ia sangat pantas disebut pangeran, Luke punya banyak kelebihan lain. Karena sebelum ia menjadi raja, ia memantaskan dirinya sendiri dengan mempelajari dan menguasai setiap kelebihan-kelebihan yang dimiliki para vampire. Luke ingin menjadi yang terkuat agar tidak ada orang yang bisa mengalahkannya.

Lumayan.

Ia menunduk untuk menggigit bibir Jane dan menghisap darahnya dari sana. Sebelah tangannya menekan urat yang berada di leher wanita itu untuk membangunkannya, sekaligus menyembuhkan kulit yang terkoyak karena kukunya itu. Jane terbatuk, membuat Luke menjauhkan wajahnya. Ia melihat mata wanita itu yang kembali terpejam dengan lemah.

Sebelah tangannya menarik rambut Jane, membuat wanita itu meringis kesakitan.

"Bangun, aku tidak ingin melihat wajahmu yang kesakitan."

Ia meletakkan jari jempol dan telunjuknya di kedua ujung bibir Jane.

"Kau harus tersenyum saat kesakitan."

Bagaimana Jane bisa tersenyum jika Luke saja mengucapkannya dengan wajah tanpa ekspresi. Terlebih, lelaki itu menyakitinya. Jane bisa memahaminya, mungkin saja lelaki itu tidak waras, hal itu membuatnya bertanya-tanya, apakah pikiran vampire sama dengan pikiran orang gila? Atau pikiran psikopat?

Ia menggeleng kecil untuk menyadarkan dirinya sendiri, gelengannya membuat kepalanya yang pusing kian bertambah pusing. Ia mengerang secara berlebihan. Oh, Tuhan. Tubuhnya terasa sakit, kerongkongannya kering. Untuk mengucapkan bahwa ia butuh air saja, ia tidak mampu.

Luke menaikkan alisnya sebelah, melihat raut wajah Jane yang berubah-ubah dalam waktu yang tidak sampai lima menit. Bagaimana bisa manusia memiliki ekpresi yang sebanyak itu. Tiba-tiba hatinya dipenuhi kemarahan melihat wajah Jane yang berubah-ubah. Ia menekankan kukunya di pipi wanita itu. Ia hanya ingin melihat wajah yang penuh senyuman saat sedang kesakitan, seperti ibunya dulu.

Aneh? Tentu saja, tapi tidak ada yang boleh mengutarakan keanehannya secara terang-terangan jika tidak ingin memiliki tubuh tanpa kepala. Ia berdiri, tidak ada gunanya berada di dekat wanita lemah yang banyak mengundang kemarahannya.

Ketika Luke melangkah, lengan bajunya ditarik dengan tangan lemah, membuat langkahnya terhenti. Ia menoleh dan melihat wanita itu menunjuk kerongkongannya. Tidak memedulikan maksud Jane, ia menyentakkan lengannya. Membuat Jane terhempas.

"Mi ... num."

Jane berucap lemah. Ia tidak butuh obat atau apa pun itu untuk menyembuhkan sakitnya, untuk saat ini ia hanya butuh air dan vitamin untuk menghilangkan dahaga dan memberinya sedikit kekuatan. Ia kembali memejamkan matanya, berharap beberapa jam ke depan dirinya sudah berada di alam lain. Alam mimpi, alam kubur, alam apa pun itu.

Seperti yang diinginkannya, Jane kembali pingsan. Luke mendengus, bisa-bisanya wanita itu tidak sadarkan diri. Sebenarnya seberapa lemah manusia ini. Sedikit-sedikit pingsan, menyebalkan sekali.  Tidak menyenangkan jika ia membunuh manusia mainan ini dalam satu hari, lebih baik ia  memainkannya lebih lama lagi. Luke memanggil seseorang untuk membawakannya segelas air. Tanpa perasaan ia menuangkan air itu di wajah Jane, lalu menyadarkan wanita itu.

Luke membuka paksa mulut Jane dan menuangkan minuman itu ke sana, membuat Janer terbatuk. Saat itu kerongkongannya kering, tetapi lelaki itu memberikannya secara tiba-tiba, siapa orang yang tidak terbatuk ketika diberikan minum dengan cara yang seperti itu. Bukannya sembuh, malah semakin sakit.

Jane memaksakan diri untuk duduk ia menatap Luke dengan tajam, tetapi hanya beberapa detik sebelum ia kembali menundukkan wajahnya. Bola mata Luke yang berwarna merah membuat lelaki itu tampak menyeramkan, taringnya mengintip dari balik bibir. Jane masih bisa merasakan taring itu menusuk kulitnya.

Jane menyodorkan tangannya untuk meminta gelas yang berada di tangan Luke, lelaki itu menaikkan alisnya sebelah.

"Cium kakiku."

Luke menyodorkan kakinya dengan wajah selamba, lebih baik ia tidak minum daripada harus merendahkan dirinya di hadapan vampir arogan ini. Sebenarnya ia sudah tidak memiliki harga diri lagi, karena manusia tidak ada apa-apanya jika hidup di kalangan vampir, tetapi apa salahnya ia menggenggam sedikit harga dirinya yang tersisa.

Ia kembali membaringkan tubuhnya, memutar tubuhnya agar membelakangi Luke. Lelaki itu mendengus sinis, menendang tubuh Jane pelan, tendangannya mampu membuat Jane tersungkur. Ia mengerang kesakitan, menatap Luke dengan amarah. Posisinya serba salah, ia ingin melawan, tapi takut. Ia ingin minum, tapi tidak ingin mencium kaki itu!

Bersambung ...

Another WorldWhere stories live. Discover now