Leap for Tomorrow #24

16 6 0
                                    

"Ya, benar sekali, Pak Sasmoko. Hari ini memang tanggal 13 Juni 2043, Pak." Si wartawati menjawab dengan senyum hormat.

Sesudah melepas pertanyaan soal waktu, Clark menjadi lebih tenang, duduknya pun mantap. Si pria mendeham sejenak, merapikan dasi bercorak checkered flag hitam dan putih. Anggukan kepala dan kode OKE dari Clark membuka sesi wawancara yang sebenarnya. Sang wartawati muda tersenyum, sikapnya lumayan seremonial, tak lupa mengangguk hormat setiap kali membuka pertanyaan pada sang narasumber, Clark Sasmoko.

"Selamat sore, Pak Clark Sasmoko. Sungguh suatu kehormatan Anda berkenan meluangkan waktu untuk wawancara jarak jauh ini. Karya-karya Anda selalu mencuri perhatian dan dinantikan pembaca setia Anda. Kira-kira apa resepnya, mengingat buku perdana Anda baru terbit saat Anda berusia 40? Termasuk penulis late bloomer, bukan?"

"Selamat sore juga, Mbak. Sejujurnya, saya sudah rajin menulis sejak remaja. Benar kata Mbak, saya late bloomer, baru berhasil menerbitkan buku pada usia 40 tahun. Kebetulan karya debut saya langsung mencetak best seller. Artinya saya ini termasuk mujur. Beginner's luck mungkin. Hahahaha."

"Kalau menurut saya pribadi, bukan faktor luck, Pak. Karya pertama Anda yang berjudul Someday in Yesterday itu memang luar biasa. Seakan membaca biografi seorang pria biasa yang diam-diam punya riwayat hidup mencengangkan. Salut untuk kebolehan Bapak menulis." Anggukan tulus wartawati muda menggugah Clark, senyuman pertamanya sejak wawancara dibuka, sementara rata-rata pemburu berita membuatnya sedikit gugup.

"Terima kasih atas pujiannya, Mbak. Saya hanya berusaha sebaik-baiknya menulis dengan tulus. Setiap tulisan saya dipersembahkan pada istri beserta putra putri saya tercinta."

Juga kupersembahan bagi Ben Sasmoko, saudara kembarku yang mengorbankan nyawa, dan membuatku makmur dengan caranya yang mumpuni. Ben yang terpuji, terima kasihku untukmu, wahai adik yang luhur pekertinya. Clark mengait simpul bibir mengejek, senyum yang ditujukan bagi kepayahan dirinya, yang mengandalkan kenahasan Ben untuk merengkuh kesuksesannya saat ini.

***

Eighteen years ago

Delapan belas tahun berselang, Ben Sasmoko akhirnya menampakkan kabarnya. Bukan kabar sukacita, sayangnya. Diketahui, Ben terserang stroke dahsyat yang membuatnya nyaris mati, tetapi ia berhasil diresusitasi di pos kesehatan Prince Amundsen di Antartika. Kondisi Ben buruk, dilukiskan sebagai locked-in syndrome atau sindroma terkunci, dimana si pasien sadar sepenuhnya, tetapi tak mampu menggerakkan seluruh tubuhnya ataupun berbicara, lantaran kelumpuhan semua otot sukarela, terkecuali yang mengendalikan pergerakan mata.

Kabarnya ada koneksi terputus antara saraf tulang belakang dan otak Ben. Disebut brain stem atau brainstem, bernama batang otak dalam bahasa Indonesia. Fungsinya bagaikan stasiun pemancar yang menghubungkan otak besar ke saraf tulang belakang dan menerima pesan antara berbagai bagian tubuh dan otak. Sedemikian vital, hingga diibaratkan suatu komponen esensial dari komputer tubuh manusia.

Nahas, bagian vital dari "komputer Ben" itu rusak lantaran stroke iskemik pada pembuluh darah otaknya. Ada gumpalan darah yang menyumbat koneksi antara otak dengan tubuh Ben. Bila dibahasakan dengan cara sederhana, kira-kira seperti itulah kondisinya.

Menurut dokter, kondisi sindroma terkunci tidak harus dipicu stroke berat, bisa pula terjadi akibat trauma atau luka pada otak. Kabarnya, Rom Houben, seorang pria Belgia, "terbangun dari tidurnya" setelah 23 tahun didiagnosis koma atau dalam kondisi vegetatif persisten. Sebetulnya sedari awal, sesudah mengalami kecelakaan lalu lintas fatal, Rom Houben mengalami sindroma terkunci. Otaknya berfungsi seutuhnya, tetapi tak mampu berkomunikasi dengan dunia sekitarnya. Alhasil, ia disangka koma dan baru diketemukan "tersadar" 23 tahun kemudian, berkat peranan seorang pakar saraf terkemuka, Steven Laureys.

Tomorrow Forget Me NotWhere stories live. Discover now