Again, Yesterday #6

34 8 0
                                    

Tujuh belas tahun yang lalu, dua hari setelah Ava Sasmoko menghilang tanpa kabar. Clark terhenyak oleh pantulan paras di cermin besar. Gagang telepon melekat di telinga kanan Clark. Kabar mengerikan bak mimpi buruk yang jadi nyata. Clark melihat seorang pria amat pucat, di dalam cermin, tak ubahnya patung garam yang pias. Bila matanya tak mengerjap-ngerjap, Clark pasti menyangka lelaki di cermin sudah tewas. Bayangan cermin itu adalah dirinya sendiri.

"Jadi saya perlu mengidentifikasi jenazah, Pak? Baik, baik, Pak. Saya akan segera datang."

Dialog ini seperti hafalan, selayaknya pakem klise dalam film-film thriller atau drama kriminal yang menegangkan. Terjadi pembunuhan, lalu jenazahnya ditemukan dan ditangisi oleh anggota keluarga lainnya. Hanya saja, sekali ini, Clark yang menjadi tokoh ceritanya, sekaligus saksi dalam sebuah kasus penculikan yang membingungkan.

Jenazah itu bukan adik perempuanku. Clark membatin, mati rasa seketika. Ava Sasmoko, sang calon bintang panggung telah menjelma bidadari surga. Tuhan menyayangimu, Dik. Tidak akan ada seorang pun yang menyakitimu sekarang. Kamu telah berbahagia di pangkuan-Nya. Hidupmu abadiah, untuk selama-lamanya.

Abadi adalah waktu yang sangat panjang. Seharusnya tak perlu ditegaskan lagi, terlebih oleh kata konyol itu, selama-lamanya. Terbiasa melebih-lebihkan makna perkataannya, Clark pun kerap memiliki persepsi waktu yang keliru. Waktu yang sesaat dikiranya berlalu sangat lama. Amat lama disangkanya singkat saja. Waktu bagi Clark adalah seteru besar, karena ia kerap berselisih paham dengan waktunya sendiri, dari waktu ke waktu.

"Anda sempat pingsan. Mata Anda masih terbuka, jadi tidak betul-betul pingsan. Cuma blackout sesaat. Apakah cermin itu betul-betul menakutkan?"

Clark terjaga tiba-tiba, pria yang duduk menghadapnya menatap balik dengan dingin. Guratan ekspresi hampa, persis seperti Clark tujuh belas tahun lampau, saat ia mati rasa dan Ava dinyatakan meninggal. Clark mendapati dirinya duduk di sebuah kursi, sejajar dengan Tembe Mburi dalam ruangan sempit. Di antara mereka, terdapat meja kecil, menyangga pesawat telepon hitam yang gagangnya berpoles keemasan, juga jam pasir merah muda yang diinginkan Clark sedari tadi.

"Pingsan? Jujur, saya fobia pada cermin maupun kaca bening yang bisa sedikit memantulkan bayangan. Dulu adik saya, Ava namanya, paling ... paling ..." Clark tergagap, terganjal untuk meneruskan kalimat yang terputus.

Tembe Mburi menyambung dengan lagak arogan, "paling menyukai cermin? Ya, namanya juga perempuan. Pasti tak tahan untuk bercermin. Betul?"

Kening Clark berkeringat dingin, kepalanya terangguk tak sengaja, bergetar oleh bayangan tak terlihat di depannya. Pantulan Ava Sasmoko yang terbujur, ruangan jenazah bersemayam yang suram. Pengurus kamar mayat tak berbicara sepatah pun, parasnya sedingin cermin kematian. Keji tanpa pengampunan, cermin masa lalu menyayat luka Clark. Ia tak sudi mengiyakan tebakan Tembe Mburi soal adiknya yang menyukai cermin, karena cemas sewaktu-waktu dapat pingsan kembali.

Terbayang pada pantulan batinnya, wajah sang orangtua, Papap dan Mamih, yang tiba-tiba menua sepuluh tahun sekaligus, bergegas menemui Clark di depan kamar jenazah Rumah Sakit Ripto Sasrodarsono. Clark 38 tahun, di masa kini, tak kuasa mengalihkan pandangannya. Terpaksa, mau tak mau ditontonnya kilas balik menyakitkan itu, sejernih potongan adegan film di layar kaca.

***

Clark, 2008

Kamar jenazah ini dikesankan tidak suram. Pintunya biru pastel, juga tembok sepanjang lorong yang biru lembut, didekorasi dengan awan-awan putih dan gambaran padang rumput permai. Inikah tanah surga yang dipenuhi cinta? Clark justru merasakan, neraka dunia paling jahanam tengah merajamnya dengan kejam.

Clark tertunduk di bawah lukisan sosok malaikat berjubah putih-putih, senyum si malaikat damai dan lengannya terbentang dengan khidmat. Pak Sasmoko dan Bu Sasmoko datang, memburu sang putra sulung dengan tangisan tersedu-sedan. Ava, Ava. Antara lain kata itulah yang terpetik dalam isak pilu mereka.

Tomorrow Forget Me NotWhere stories live. Discover now