A Crazy Old Yesterday #12

22 8 0
                                    

"Berubah akal? Eufemisme untuk gila?" Clark menahan keinginannya untuk marah. Menyabarkan diri sendiri, ia ingat, kemarahan adalah kegilaan sesaat, sementara sesal yang dibawanya cenderung menetap. "Jadi Pak Ri berharap kekasih Bapak jadi gila di Antartika sana, maka ia tak berkabar dan seolah melupakan Bapak?"

Gila. Seolah gila, Clark pernah menulis tanpa henti, selama sepuluh jam berturut-turut, non stop memburu ide liarnya yang ternyata tak sebrilian sangkaannya sendiri. Seolah-olah ia merasa sudah menjadi penulis yang sangat mumpuni.

"Nah, saya kok suka kata 'seolah' itu." Tembe membentuk tanda kutip dengan dua telunjuk dan dua jari tengahnya. "Eufemisme yang bagus itu. Jitu untuk membohongi diri sendiri dan orang lain, meski faktanya sudah sahih. Kekasih saya memang sengaja ingin melupakan saya."

"Definisi gila itu kan luas ya, Pak. Haus akan pengetahuan juga tergolong gila. Gila belajar namanya juga gila. Getol menulis dan punya ide brilian juga gila namanya. Lalu ..."

"Gila karena sepi dan kesunyian juga tergolong gila. Gangguan mental ringan juga mengarah pada kata gila, kan? Anda tahu apa artinya musim dingin di Antartika itu?"

Angin halus yang misterius mendesah, Clark yakin angin itu tak nyata, karena tiadanya jendela terbuka atau kisi-kisi dalam ruang rahasia toko. Apakah aku sudah gila? Clark mendebat dirinya sendiri. Tidak, aku tak boleh gila sebelum tujuanku tercapai. Masa depan itu masih menantiku di sini. Clark segera menegarkan hatinya yang pengecut.

"Dingin sudah pasti. Gelap dan sunyi pula, karena matahari absen bersinar selama tujuh atau delapan bulan penuh. Saya tahu itu dari percakapan WA antara Ben dan putrinya. Apalagi benua es itu terisolasi di ujung semesta yang terpencil."

Tembe mendengus, suaranya mirip sepatu kulit yang mendecit. "Kurang spesifik. Penggambaran seperti itu terlalu optimistis. Jawaban yang betul, musim dingin di Antartika adalah ujian genting bagi ketahanan mental kita. Ya, istilahnya getting toasty atau winter-over syndrome. Itulah kondisi psikologis yang ditakuti manusia-manusia Antartika."

"Getting toasty? Ah, saya pernah dengar istilah itu. Keadaan terisolasi akibat kehampaan, dingin yang ekstrim, dan kegelapan panjang. Ujian mental yang tak mudah untuk makhluk sosial macam kita manusia. Saya yang kuper saja tak tahan kalau tidak berbicara seharian. Setidaknya satu dua patah kata dengan istri atau orang terdekat, ya cukuplah." Clark akhirnya bercakap sambil menatap Tembe Mburi, lawan bicaranya.

Lawan bicara Clark menjentikkan jemarinya. "Anda tahu putri malu? Tumbuhan yang menguncup saat tersentuh daunnya. Tumbuhan saja peka rangsangan, terlebih lagi manusia. Orang-orang yang kurang mendapat rangsangan dari dunia sekitarnya bakal mengalami disfungsi daya sensorik. Akibatnya timbul tekanan batin berupa depresi dan gangguan emosi."

"Ah, benar." Clark nyaris latah menjentikkan jemarinya. "Ben, kembaran saya menyinggung di akun FB-nya, tentang peneliti Rusia di Antartika yang tiba-tiba menusuk orang gara-gara gangguan emosi. Dia membunuh rasa sepinya dengan cara yang gila. Juga dengan teramat sadis."

Netra Clark berkaca-kaca, tak lebih karena kata sadis yang membuatnya berat hati. Seumur hidupnya, Clark tak pernah menangis. Berkaca-kaca adalah caranya menumpahkan kesedihan, karena air matanya enggan menampakkan diri.

Sadis. Kata penghinaan yang menyusutkan gairahnya menulis. Semenjak Ava Sasmoko, adik perempuannya tiada, Clark tetap aktif menulis, bagian dari terapinya untuk pemulihan batin. Mulanya terilhami sosok manis sang adik, Clark menulis kisah kasih remaja dan nostalgia masa SMA. Namun mimpi buruk yang dialami Clark menghadirkan sinisme dan kegelapan dalam novelnya. Ia selalu bermimpi menghabisi Ben yang sombong dengan tangan kosong.

***

Clark, 2010

Angan-angan sejatinya benda abstrak, tetapi benda ini bisa hancur secara konkret, apabila pemiliknya menghendaki demikian.

Tomorrow Forget Me NotOù les histoires vivent. Découvrez maintenant