A Promise of Yesterday #14

19 9 0
                                    

Clark dan Tembe, today in 2025

Clark benar-benar melihat seseorang memasuki toko. Bukan bayangan manusia putih yang dilihatnya tadi dari jendela. Namun, betul-betul sesosok lelaki, pakaiannya identik dengan Tembe Mburi. Astaga, satu jam sudah berlalu, Clark merutuk dalam hati. Tampaknya itu asisten yang dimaksud Tembe Mburi. Seorang karyawan muda yang satu jam lalu meminta izin untuk datang terlambat. Lihat, waktu sekali lagi berlalu sia-sia, khususnya bagi Clark Sasmoko seorang.

Rupanya pakaian kaus lengan pendek yang dipakai Tembe merupakan seragam toko. Dirancang dengan logo SY berhuruf kursif Spencerian, kaus berkerah itu warnanya biru tua dengan lengan warna hitam. Cukup representatif dan rapi, tetapi kesannya terlalu kasual untuk citra toko seantik dan semisterius ini.

"Itu asisten Bapak sudah datang. Mungkin Bapak mau keluar untuk menyapa?" Diam-diam Clark merancang dalam hati, bakal ikut menerobos keluar selagi Tembe lengah dan membuka pintu ruang rahasia toko.

Tembe menolak, seakan bisa membaca isi hati Clark. "Ah, tidak usah, lah. Biarkan dia bersantai dulu. Pasti sekarang dia mengambil cangkir dari meja kasir dan satu sachet teh dalam toples, kan? Lalu dia berjalan ke dispenser dan mengisi cangkir dengan air hangat. Betul?"

Mengangguk sembari memunggungi Tembe, Clark asyik mengintai aktivitas si asisten. "Persis seperti kebiasaan saya di kedai teh. Sebelum beraktivitas, saya menyeduh teh dan bersantai dulu. Padahal sebelum menikahi istri, teh bukan pilihan favorit saya. Saya lebih suka kopi. Tapi teh putih yang saya minum pertama kali itu, enaknya luar biasa. Istri saya yang membuatnya."

Serentetan batuk terdengar dari belakang Clark. Hanya batuk-batuk ringan. Dipastikan pelakunya tak lain dari Tembe Mburi. "Sejak itu, Anda tak pernah lagi minum teh senikmat itu, kan? Mungkin karena cangkirnya bukan cangkir Just Married?"

Termangu dan membisu, Clark menjawab dengan gumaman halus. Singgungan dari Tembe, yang mahir membaca pikirannya, sungguh luar biasa. Pastilah Tembe menyimak ceritanya dengan teliti, lalu mencuri perkataan dari benak Clark, bahkan sebelum Clark pernah dan sempat memikirkannya.

Cangkir Just Married hanya terpakai satu kali semenjak dihadiahkannya pada Andai Andarani. Tak cuma berdebu, sepasang cangkir romantis itu pun hilang entah sejak kapan.

Andai, istriku. Andai saja bisa kuyakinkan dirimu, bahwa aku adalah pria yang pantas dicintai olehmu. Andai saja aku tahu waktuku amat terbatas, mungkin aku lebih mampu menegaskan cintaku kepadamu. Andaipun aku tahu, apakah kamu mau memiliki cintaku? Clark memejamkan mata, pedih rasanya, membiarkan kata-katanya tertelan oleh waktu, yang berlalu sekiranya terlalu cepat bagi Clark, seorang yang divonis tengah sekarat kini.

"Seandainya Anda mendapat tiket untuk meninjau masa depan Anda, Anda ingin dikirim berapa tahun dari masa sekarang? Sekadar wishful thinking tidak mengapa, kan?" Tembe seakan tahu isi pikiran Clark, mengajak si pria berandai-andai soal masa depan.

Sekelebat angka menyiksa Clark. Tujuh belas. Angka maut yang membayanginya seumur hidup. Bayangan molek seorang gadis dan janji yang tak terselesaikan. Clark tak cukup bodoh mengulangi masa lalunya. Masa depan adalah jawab yang dinantinya. Pengharapannya ada di masa depan, waktu mendatang yang belum tentu menjadi miliknya. Masa depan belum tentu benar-benar datang, Kak. Seseorang pernah berkata demikian. Clark tidak mungkin akan lupa.

***

Clark dan Ava, 2008

Radio mobil lawas itu berdendang, menyenandungkan lagu Yesterday yang diputar Clark tanpa sengaja. Tangan kanan Clark berulang menstarter mobil. Tetap mogok. Mobil kesayangan keluarga Sasmoko, satu-satunya pula, membandel, bertingkah di luar kebiasaannya. Seperti tak paham kebutuhan Clark, yang bersiap mengawal sang bungsu kesayangan Sasmoko, Princess Ava, untuk menghadiri pesta ultah sahabat baiknya. Tumben mobil itu malah mogok di saat-saat yang penting.

Tomorrow Forget Me NotWhere stories live. Discover now