Sejak dulu, hingga sekarang. Agra masih tetaplah anak yang baik. Bunga tersenyum tipis, menggelengkan kepala pelan.

"Papa kamu di sana ngapain ya?"

Kini Agra yang terdiam. Tak tau harus menjawab apa. Melihatnya, Bunga berdehem pelan.

"Eh, mama lapar." Bunga tertawa pelan, mencoba mencairkan suasana. "Tapi enggak mau makanan rumah sakit."

"Mama mau apa? Biar Agra beliin."

"Ketoprak?" tanya Bunga yang dibalas gelengan keras anaknya.

"Enggak! Nggak! Mama gak boleh ya makan itu."

"Yaudah. Nasi padang," jawab Bunga membuat Agra berpikir lalu mengangguk menyetujui.

Cowok itu mencium punggung tangan Bunga, berpamitan, sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan rawat sang mama.

Agra menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah lunglai. Ia berhenti, tepat di depan lift yang masih tertutup rapat. Agra terdiam, lantas mengembuskan napas beratnya.

Hidupnya kini sudah berubah 180° derajat.

Dulu ... mungkin, ia punya segalanya.

Tapi kini, Agra tak memiliki apa-apa.

Ting!

Pintu lift terbuka, menampakkan seorang gadis yang berdiri sendiri di dalamnya. Mata bulat gadis itu melotot, memandang Agra penuh rasa tidak percaya.

"Agra?"

Dia, Shinta.

Teman Raisa.

Juga, teman sekelasnya.

• • • •

Agra tak menyangka dunia sesempit ini. Dalam artian, dia bertemu dengan Shinta.

Di lift rumah sakit.

"Butuh bantuan?" tanya Agra, sebab Shinta berjalan terpincang. Kaki kiri gadis itu tadi cidera, katanya tanpa sengaja terserempet pengendara motor.

"Aduh, Gra. Perhatian banget sih," kekeh Shinta. "Padahal aku biasa aja."

Agra mengangguk. "Btw, makasih."

"Buat?"

"Ini, lo mau nunjukin tempat buat nyari nasi padang."

Setelah pertemuannya di lift rumah sakit. Agra dan Shinta di pertemukan lagi di halte bis. Hingga akhirnya Agra bertanya dimana bisa mencari nasi padang yang rasanya enak, pun begitu Shinta menawarkan diri untuk mengantarkan.

Kata Shinta, pedagang langganannya juga mengikuti festival makanan dan barang-barang.

Shinta tertawa pelan. "Elah, santai kali." Kemudian gadis itu nyengir lebar, menunjukkan deretan giginya. "Sebenarnya tadi aku emang mau ke festival ini. Eh malah apes ke serempet."

"Tapi enggak apes-apes banget sih. Soalnya ketemu kamu, jadi ke sini enggak sendiri." Shinta berbelok ke arah stand makanan. "Eh, kamu tadi ngapain di rumah sakit?" tanyanya menoleh ke Agra.

"Ada yang di rawat di sana."

"Oh ...." Shinta membulatkan bibirnya membentuk huruf O. Mengangguk pelan, tanda mengerti.

Agra mengikuti langkah Shinta. Pandangannya menyisir ke beberapa pedagang yang menjajakan makanan dari banyak daerah.

"Gra, kamu nanti harus anterin aku ke area barang-barang ya," kata Shinta yang bagaikan angin lalu untuk cowok itu.

Karena fokus Agra sudah terkunci.

Tepat pada arah jam dua, di gerobak yang menjual soto.

Tepatnya ke arah dua orang yang duduk berhadapan. Dengan sesekali salah satunya tertawa pelan.

Agra menipiskan bibir, langsung memalingkan wajahnya.

Sekali lagi, Agra rasa dunia ini memang sempit. Karena ia kira hanya itu, sebatas melihat Nevan dan Raisa makan bersama. Tapi nyatanya tidak.

Karena ketika dia mengantar Shinta untuk membeli barang-barang. Mereka bertemu lagi.

"Raisa!"

Kenapa Shinta harus manggil dia?

Agra merutuk dalam hati ketika Shinta menghampiri Raisa dan Nevan yang tengah memilih pernak-pernik. Mau tak mau, Agra juga mengikuti Shinta. Menghampiri keduanya.

"Shinta." Raisa berucap pelan, lantas mengalihkan pandangan ke belakang tubuh Shinta. Ke arah Agra yang juga ikut mendekat. "Agra?"

Ekpresinya. Agra tak paham.

Gadis itu tersenyum tipis. Tapi cenderung sinis. Keduanya beradu pandang lama hingga satu kalimat dari Raisa terlontar.

"Kalian pacaran?"

Shinta tersenyum. "Doain ya."

Agra melotot, menoleh ke arah Shinta yang juga memandangnya. Dengan senyum yang sama.

Sial.

"Haha gue bercanda kali," kata Shinta menepuk lengan Agra pelan.

Agra mendengus kecil, melirik Raisa yang memasang ekpresi yang tak bisa ia artikan.

"Bercandaan kamu enggak lucu," kata Agra.

"Loh emang kenapa?" Bukan Shinta, tapi Raisa yang bertanya. Agra memandang tak menyangka. "Kenapa enggak pacaran beneran, kalian tuh keliatan cocok."

Agra mengeryit. Benar-benar bingung dengan ucapan barusan.

Agra, Rasa, dan Raisa (End)Where stories live. Discover now