Dia dermawan.

Bahkan ketika dia mendapat nilai ulangan yang sempurna, Agra langsung mengajak teman-teman sekelas untuk makan-makan.

Raisa yakin, pasti ada sesuatu. Tapi ia tak ada hak untuk bertanya kan? Akhirnya gadis itu mengetikan balasannya untuk Agra.

Raisa: Memangnya mau berapa pulsanya?

Agra: Boleh?

Raisa: Iya

Dan gadis itu buru-buru menambahkan.

Raisa: Tapi minggu depan harus kamu bayar ya. Soalnya mau aku buat beli album hehe

Raisa: Jadi mau berapa, Gra?

Karena belum ada balasan. Raisa meraih remot tv di atas meja, pikirnya agar rumah tidak terasa sepi-sepi amat. Gadis itu menghidupnya tv, mencari program kesayangannya.

Drttt!

Pesan masuk dari Agra. Saat membacanya, mata Raisa menyipit sempurna.

Sebanyak ini? Buat apa?

• • • •

Pukul tiga dini hari. Suara mobil yang baru saja memasuki garasi terdengar, memecah fokus Raisa yang selesai mengisi ulang mug-nya.

Gadis itu menoleh, mendapati sang ibu baru saja memasuki rumah. Hendak melewati dasar tangga tempatnya berdiri.

"Bunda baru pulang?" tanya Raisa. "Jam segini lagi?"

Araㅡibu Raisa itu menoleh dengan mata yang menajam. "Berisik kamu, saya capek mau istirahat."

"Bunㅡ"

Tak menghiraukan putrinya, Ara langsung melangkah menuju kamarnya. Raisa menipiskan bibir, menatap ibunya yang banyak berubah semenjak kepergian sang suami.

Jadi sering pulang malamㅡralat, dini hari, banyak diam, dan terkadang marah tanpa alasan ke Raisa. 

Raisa menarik napas dalam, lantas memutar tubuhnya kembali melangkah ke dapur. Ia segera meraih celemek dan memakainya.

Kalau sudah pulang pagi, sudah pasti Ara tak akan memasak sarapan. Raisa sudah hafal akan hal itu, makanya ia segera meracik bumbu dan bergelut dengan alat dapur.

Walaupun hanya tempe goreng, itu pun beberapa kali ia harus terciprat minyak panas. Tapi tetap saja, Raisa bangga bisa menyelesaikan masakannya.

Raisa segera menata itu di meja makan, kemudian menutupnya dengan tudung saji.

Setelahnya, Raisa kembali ke kamar untuk bersiap-bersiap pergi ke sekolah.

Selesai mandi, Raisa meraih ponselnya. Mengecek apakah ada info penting. Namun, yang ia dapatnya hanya room chat Agra yang berapa di posisi paling atas. Dengan centang dua abu-abunya.

Raisa berdecak. Akhirnya pukul enam tepat gadis itu turun ke lantai satu. Baru saja menginjak anak tangga terakhir, ia langsung mendapati Ara yang sudah rapi dan melangkah buru-buru.

"Bun," panggil Raisa melangkah mencegah Ara. "Ayo sarapan dulu."

Ara berdecak. "Bunda harus berangkat kerja sekarang. Minggir," katanya. Karena tak ada respon, Ara mendorong tubuh Raisa ke samping. Melewati putrinya yang diam-diam mengepalkan tangan.

"Bunda, kenapa sih sibuk kerja mulu?" Hal yang Raisa tahan-tahan itu pun akhirnya ia ungkapkan. "Sejak papa enggak ada, Bunda berubah tau gak. Bunda bahkan lupa sama Raisa."

Ara menghentikan langkahnya. "Saya kerja juga buat kamu," balasnya tegas.

"Aku tau," jawab Raisa tenang sangat berbalik dengan isi hatinya. "Tapi aku enggak suka Bunda sampai lupa waktu. Suka marah-marah, bahkan Bunda lupa kan ...."

"Kalo Raisa hari ini ulang tahun?" lanjut gadis itu pelan, sarat akan kecewa.

Ara melotot kecil, ia membalikan tubuhnya menghadap Raisa sepenuhnya. Namun, kini mengatupkan bibir rapat-rapat.

"Bunda lebih pentingin kerjaan dari pada anak Bunda sendiri."

"Kamu itu enggak ngerti apa-apa."

Raisa menunduk. Tersenyum getir. "Kalo Bunda enggak cerita, gimana Raisa bisa ngerti?"

Ara membuka bibirnya, tapi akhirnya terkatup lagi.

Hening.

Keduanya beradu pandang, hingga dering ponsel Ara memecahkan semuanya. Raisa memandang ibunya yang melangkah buru-buru meninggalkannya sendiri. Dalam keheningan rumah bertingkat dua sederhana itu.

Raisa tersenyum paksa, melangkah ke meja makan. Sunyi. Hanya ada Raisa yang duduk sendiri dengan hati berkecamuk.

"Papa ... Raisa sarapan sendiri lagi," gumam Raisa pelan. Ia menyendokkan makanan ke mulutnya, sembari mengusap air mata yang tak bisa ditahan lagi.

• • • •

Raisa melamun di depan kelasnya. Kelas masih begitu sepi karena ia datang lebih pagi. Gadis itu menunduk, mengayun-ayunkan kakinya pelan dengan isi kepala yang sudah melanglang buana. Hingga, satu tepukan mengagetkannya.

"Eh?"

"Eh?" tiru pelaku membuat Raisa mengerucutkan bibir.

"Kenapa sih, Kak? Ngagetin aja," keluh Raisa membuat Nevan tertawa.

"Ya kamu ngelamun mulu. Padahal aku udah duduk di sini dari tadi, tapi kamu enggak sadar-sadar." Nevan meringis kecil. "Emang mikirin apa sih?"

"Banyak," jawab Raisa membuat Nevan tertawa.

Raisa menoleh heran. "Emang ada yang lucu?"

"Iya, kamu yang lucu."

Raisa sadar itu gombalan. Ia mendengus kecil sebagai respon.

"Jangan ngelamun, nanti kalo kerasukan gimana?" tanya Nevan.

"Kalo kerasukan ...." Raisa bergumam, memikirkan sesuatu. "Aku jadi reog hehe."

Nevan terkekeh. "Ada-ada aja kamu. Btw," ujar Nevan menggantung. Raisa menoleh, mendapati cowok itu membuka resleting tasnya.

Nevan tersenyum, menampakkan eye smile-nya yang memesona.

"Hadiah," kata Nevan menyodorkan kotak hitam. "Selamat ulang tahun, Raisa."

ㅡTBCㅡ

Agra, Rasa, dan Raisa (End)Where stories live. Discover now