30. Undangan

8 5 0
                                    

"Will you marry me?"

Deg...!

Perempuan itu tersentak dalam tidurnya. Menatap sekeliling kamar. Tubuhnya terasa sakit karena tidur di kursi belajar. Kepalanya sangat pusing. Wajahnya putihnya sembab. Bekas air mata masih tercetak jelas. Melihat ke atas meja yang terdapat undangan bertuliskan nama pasangan.

Ozara & Tania

Hatinya kembali berdenyut nyeri. Air mata itu kembali terjatuh mengingat Langit yang kemarin siang datang ke rumah membawa undangan keramat ini untuknya.

Tok...tok...tok...!

Awan membuka pintu rumah. Terkejut melihat Langit yang datang. "Oza?"

Langit tersenyum. Memberikan sebuah undangan. Awan menerimanya. Terdiam sesaat melihat nama yang tertera di sana. Melihat Langit tak percaya.

"I-ini beneran?" Matanya memanas.

Langit mengangguk. Hatinya berdenyut nyeri melihat Awan yang hendak menangis. "Maaf, Ra...."

Awan menggigit bibir dalamnya menahan isakan. "Lo jahat Langit!"

Langit berpaling. Tidak ingin melihat perempuan itu menangis. Awan menghapus kasar air matanya. Sial, kenapa dia harus menangis di depan laki-laki ini.

Langit menghela napas. Menatap kembali ke arah Awan. Menarik senyuman. "Bahagia selalu ya, Ra."

"Bahagia gue ada di lo, kalo lo aja pergi, apa menurut lo gue bakal bahagia?"

Kalimat itu mampu menyayat hati Langit. "Maaf...."

Awan menggeleng. "Stop untuk terus minta maaf! Pulang gih! Besok lo mau nikah 'kan."

Sebelum Langit menjawab. Awan sudah masuk lebih dulu ke dalam dan menutup rapat pintunya. Langit menatap sendu pintu di depannya. Laki-laki itu berbalik meninggalkan rumah Awan.

Hal itu yang membuat Awan tidur di atas meja hingga bermimpi indah. Yang di mana mimpi itu sendiri adalah penghibur untuk hati yang sudah retak ini.

Awan mengambil ponsel. Terdapat tiga puluh panggilan tak terjawab dari Seanna. Awan lantas kembali menghubungi Seanna, karena memang itu tujuan awalnya.

"Halo Sea...." Suara itu terdengar serak dan menyakitkan.

"Lo gak papa 'kan Ra?" Seanna terlihat khawatir begitu mendengar suara Awan.

"Kepala gue pusing banget Se, mata gue juga susah dibuka."

Seanna mengernyit. "Jam berapa lo tidur semalam? Kok bisa sampe kayak gitu?"

"Kemarin sore."

Seanna memejamkan matanya. Ini pasti gara-gara undangan itu. "Gue tau rasa sakitnya, Ra."

"Gak usah dibahas Se."

Seanna menghela napas. "Gue ke rumah ya?"

"Iya."

Panggilan itu dimatikan sepihak oleh Awan. Melempar ponselnya kasar. Menutup wajahnya yang kembali terisak pilu.

"SAKIT BANGET YA ALLAH!"

Memukul dadanya berulang kali. Menjatuhkan kepalanya di atas meja belajar. Membiarkan air mata itu kembali mengalir. Ini sangat menyakitkan. Penantiannya selama ini dibalas pengkhianatan.

****

Bel rumah Awan ditekan terus menerus oleh Seanna. Bahkan perempuan itu juga sudah berulang kali menelepon Awan. Tapi tidak ada respons sama sekali dari pemilik rumah.

Langit Favorit Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin