Kost-Kostan 69

22.1K 503 33
                                    

Sudah seminggu berlalu sejak pertama kali aku memutuskan untuk menyewa kamar kost yang jaraknya dekat dengan kampusku. Selama itu, bapak tidak pernah sekalipun menghubungiku walau hanya untuk menanyai kabar. Berbeda dengan ibu yang hampir setiap saat menelponku, ibu katanya belum terbiasa dengan suasana rumah tanpa diriku. Pada ibu aku beralasan ingin menyewa kamar kost karena jarak rumah yang cukup jauh, padahal alasan utamanya karena bapak, aku hanya ingin pergi darinya. Bagi bapak aku ini hanya anak pembawa malu yang bisa-bisanya menyukai bapak kandung sendiri.

"Nan, ngelamun mulu lo."

Aku tersentak, lamunanku terhenti karena bahuku ditepuk dari belakang.

"E-eh bang Bisma? Iya nih bang, pusing mikirin kuliah," kataku bohong, karena tak lain yang sedang kupikirkan adalah bapak.

"Euhh, baru juga semester 1 Nan. Nanti kalau udah punya istri sama anak baru deh tuh pusing."

Aku hanya tersenyum menanggapi pria di depanku ini. Bang Bisma kutaksir berumur awal 30-an, dia bekerja di Jakarta sedangkan istri dan satu anaknya di Bandung. Aku cukup dekat dengan bang Bisma sejak awal menyewa rumah kost di sini karena kamarnya tepat di sampingku. Oh iya, dia juga merupakan pemilik kost-kostan tempatku tinggal saat ini.

Kalau ditanya apa bang Bisma ini menggoda, jawabannya tentu saja iya. Di usianya yang  prima, wajah bang Bisma sudah sangat matang dan aura pria perkasanya juga tertampil karena dia membiarkan jambangnya tumbuh, istilahnya dia brewokan. Tubuh bang Bisma  tipenya muscle berisi  tapi tidak sampai berotot seperti binaragawan, pokoknya sempurna bagiku, dia sebelas dua belas dengan bapak. Aku yakin bang Bidma rutin melatih tubuhnya.

Meski begitu, entah kenapa sejak bapak mengataiku homo. Perasaan liar dan sikap binalku setiap melihat pria berawakan seksi dan menggoda jadi berkurang. Antusiasku akan pengalaman seks jadi tidak ada dan nyaris nihil meski disuguhkan dengan pemandangan mantap seperti sosok bang Bisma di depanku.

"Udah makan belum?" tanya bang Bisma.

Aku mengangguk pelan, sebenarnya aku belum makan. "Udah bang."

"Temenin gue makan udon yuk? Nanti gue traktir," ajak bang Bisma padaku, aku segan untuk menolak. Jadi kuiyakan ajakannya itung-itung makan gratis.

"Aku ganti baju dulu bang."

Bang Bisma mengangguk. "Gue tunggu di parkiran ya."

Singkatnya, saat ini aku tengah berada di mobil milik bang Bisma. Beda seperti biasanya, kalau biasanya yang sering terhirup oleh hidungku adalah bau tubuhnya sehabis olahraga atau pulang bekerja. Saat ini yang bisa kuhirup adalah sejenis parfum pria yang harum menusuk hidung.

"Pake parfum ya bang?"

Singkat, bang Bisma menoleh sebentar padaku dan tatapannya kembali fokus ke jalanan di depan kami. "Iya, lo suka? Kalau suka nanti gue kasih, kebetulan ada beberapa kalau lo mau."

Aku menggeleng. "Abang mah semua aja kasih-kasih."

"Kalau ada lebih ya nggak apa-apa Nan, lo kan udah kayak adik gue sendiri."

Aku hanya tersenyum kecil menanggapi ucapan bang Bisma. Seditkit banyak sikapnya yang selalu bersikap baik padaku selama ngekost mengobati rasa kesendirianku sejak pergi dari rumah. Bang Bisma selalu saja punya alasan yang membuatku terhibur dikala aku bersedih karena merindukan sosok bapak. Kami sering menghabiskan waktu untuk hanya mengobrol atau main catur sampai malam, dia sering kalah dariku bermain catur dan dia kesal sendiri karenanya. Tak ayal kalau dia kalah karena aku ini pernah mengikuti beberapa perlombaan catur tingkat nasional meski tidak sampai juara.

Aku juga cukup tau banyak tentang bang Bisma. Sebagai seorang kepala keluarga, dia mengalah ketika istrinya tidak mau ikut di ajak tinggal di Jakarta karena lebih nyaman di Bandung. Mau tidak mau bang Bisma jadi LDR-an kareja dia juga tidak bisa meninggalkan pekerjaannya di sini dan tentu saja usaha kost-kostan miliknya.

Susu Kental BapakWhere stories live. Discover now