Pernikahan mereka sendiri rencananya akan berlangsung tiga bulan lagi.

Akhirnya.

Miwa semakin merasakan pelukan Arsya mengetat, membuatnya mendongak, menemukan jelaga teduh yang membuatnya berhenti ... dari sepuluh tahun yang lalu untuk mencari laki-laki yang pantas berada di sisinya.

"Yang lebih mesra, Miw! Deketin Arsya dari dulu bisa, masa hari ini nggak bisa genit sedikit?" Tukas Vito kurang ajar, Miwa spontan menoleh dan mencibir ke arah salah satu teman dekatnya itu.

Baiklah. Miwa seharusnya tak lagi malu-malu. Ia mengubah posisi mengalungkan tangannya pada leher Arsya, tersenyum manis dan memiringkan kepala. "Berisik lu, To!" Sengaknya, tapi ketika dia menatap Arsya, laki-laki itu menyatukan kening mereka.

"Kiss!" ­Vito menginteruksikan.

Arsya masih menahan diri, meski dia mengetahui tangan Miwa sudah mengekspresikan kegugupannya di balik pundaknya. Dia mendekati Miwa dan tanpa merasa bersalah mendekatkan bibirnya di atas bibir Miwa. Jemarinya yang tadinya berada di pinggang Miwa, naik ke atas, menutupi kedua bibir mereka yang sudah bersentuhan.

Miwa hanya bisa membatu, dibalik tangannya Arsya memberikan lumatan kecil. Sebuah kesempatan dalam kesempitan yang benar-benar dimanfaatkannya. Sejujurnya, sapuan hangat bibir Arsya semakin menggetarkan dirinya. Ia lagi-lagi tak percaya, sebentar lagi ... mereka akan benar-benar bersama. Arsya memanglah miliknya. Miliknya.

"Woi! Jangan kelamaan! Menikmati banget! Kasihan nih yang jomlo!" Vito bercanda namun tetap mengambil gambar.

Miwa menjauhkan diri sedangkan wajah Arsya sudah memerah. Tiba-tiba laki-laki itu tak lagi ingin menggoda Miwa setelah mendapatkan apa yang dia inginkan. Miwa berdecih, tapi tangannya meraih jemari Arsya, menggenggamnya erat.

Sayangnya, ketika mata Miwa tanpa sengaja melirik ke arah pintu dan mendapati seseorang masuk ke dalam ruang pemotretan ini, ia mengurungkan niat melanjutkan sesi pemotretan ini. Menyadari bahwa saat ini, waktunya telah habis. Miwa menoleh kepada pujaan hatinya seraya menggerlingkan mata, "Pacar kamu datang, tuh." Sarkasnya, menunjuk dengan dagu.

Arsya yang sudah melihat kedatangan asistennya menanggapi dengan dercakan. "Biarin aja. Aku udah bilang jangan ganggu sampai jam dua belas."

"Tapi dia udah datang," Miwa mencibir, menarik napasnya dan mengambil jarak diantara mereka.

Arsya mengusap pipi Miwa dan berjalan mendekati Rendi, asisten pribadinya. "Kenapa Ren?"

"Pak Direktur nggak akan mulai rapat sebelum lo datang," Rendi sedikit melirik Miwa yang mengangkat bahunya tak acuh.

Arsya menarik napas panjang. "Gue belum selesai sama Miwa."

"Urgent."

"Nanti," tegas Arsya.

Miwa tersenyum tipis dan mengode kepada Vito untuk menyudahi sesi pemotretan mereka. Vito yang memaklumi itu hanya mengangguk. Dengan sabar Miwa mendekati Arsya dan mengusap pipi pemuda itu. "Gih," ucapnya sambil tersenyum, mengizinkan tunangannya untuk segera pergi.

"Nanggung, Sayang."

"Kita bisa lanjutin minggu depan, Sya. Sekarang kamu harus menemui Papa kamu sebelum rencana pernikahan kita batal lagi," Miwa berjalan mendahului Arsya, mendekati Vito untuk melihat hasil foto hari ini.

Dengan berat hati Arsya melangkah menuju Rendi sembari melepaskan apron berwarna cokelatnya. Matanya tetap tak putus pada Miwa yang tengah berbincang dengan Vito terkait hasil foto mereka berdua.

"Kenapa?" Tanya Arsya gregetan pada Rendi.

Miwa melirik tunangannya sebentar sebelum akhirnya menggelengkan kepala karena mendapati ekspresi kesal Arsya yang teramat sangat. Akhir-akhir ini, pengendalian diri Arsya memang amburadul. Lebih-lebih saat waktunya diganggu ketika bersamanya. Mungkin mereka sendiri juga begitu tegang, menghadapi persiapan pernikahan yang akan segera datang.

We Have To Break Up | ✓Where stories live. Discover now