Penculikan dan Ritual Penumbalan

9 3 0
                                    

Fajar hari, Nica terbangun di kamar tidurnya. Ia beranjak dari tempat tidurnya, lalu menyalakan lampu—memperlihatkan suasana kamarnya yang dilapisi cat warna krem. Nica memandang wajahnya di cermin meja rias dengan lampu menyala di sekeliling—menghela napas sejenak, kemudian mengambil jaketnya yang tergantung di bagian belakang pintu, lalu berjalan meninggalkan kamar.

Di ruang tamu, terlihat Dongsool yang berbaring di atas sofa cokelat muda panjang. Wajahnya sudah kembali menjadi topeng llama. Nica berjalan perlahan mendekati kekasihnya yang masih tertidur.

"Dongsool." Sahutnya seraya duduk di sofa tunggal di samping sofa kekasihnya.

Pria itu terbangun. Ia beranjak duduk di sofa. Dapat dipastikan wajahnya mengantuk, namun tertutupi topeng llamanya.

"Hari ini, kita jadi, bukan? Mencari Rose?" ujarnya perlahan. Wajahnya dipenuhi rasa ironi.

"Oh, ya. Kau benar." Pria itu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. "Tapi mungkin aku harus mandi dulu." Ia kemudian menggenggam kaos oblong belang merahnya, hingga tersadar bahwa lubang kaosnya tidak mencukupi untuk kepala llamanya. "Oh, tidak. Aku lupa kepalaku sudah kembali menjadi llama."

Nica tersenyum. "Sudahlah, sementara ini kau pakai saja kaosmu."

"Baiklah." Jawabnya singkat.

Nica kemudian pergi menuju dapur. Ia melihat persediaan makanan di kulkas. Tidak banyak, hanya beberapa buah telur dan beberapa potong roti. Sepertinya, Rose belum sempat belanja sebelum ia diculik.

Nica kemudian mengambil dua buah telur. Ia membuatkan dua telur mata sapi yang dimasakan di atas kompor hijau yang memiliki pemanggang. Persediaan dapur masih lengkap. Blender, penghancur makanan, piring-piring, dan gelas masih tertata rapi di lemari peralatan di atas meja dapur.

Nica membalikan telur yang ia masak—telur pun matang. Masakannya ia hidangkan bersama dua potong roti yang ditaruh di atas piring. Gadis itu kemudian menghidangkannya di meja makan, dimana Dongsool sudah menanti di kursi makan.

"Ini dia." Ia meletakkan hidangan sarapan di meja depan kekasih prianya.

"Wah, terimakasih, Nica."

Nica lalu duduk di kursi di hadapan Dongsool. Sambil menatap kekasihnya, ia bertanya-tanya bagaimana cara kekasihnya makan dalam kondisi kepala llama. "Dongsool, bagaimana cara kau makan dalam kondisi kepalamu seperti itu?"

"Entahlah." Pria itu kemudian mengambil roti lapis telurnya, kemudian meraba-raba makananya ke arah bagian bawah moncong hidungnya. Ia menempelkan rotinya pada sela bulu-bulunya, dan seketika roti pun terbelah menjadi gigitan. "Mmmm... Sepertinya ini bagian mulut." Ujarnya sembari mengunyah.

Nica mengernyit, lalu menggigit roti lapisnya.

"Baiklah." Ujar Dongsool sembari mengunyah. "Coba ceritakan, apa yang membuat kakakmu memutuskan pindah ke sini?"

"Sudah kubilang, orang tua kami meninggal. Lalu seseorang...." Nica terdiam sejenak, "mengajak kami untuk tinggal di sini."

"Siapa?"

"Entahlah, Rose tidak memberi tahu. Ia bilang orang itu memberinya surat." Kemudian ia beranjak menuju kamar Rose. Kamarnya begitu rapi tak tersentuh oleh siapa pun. Tepat di atas sebuah meja rias yang tidak berlampu, terdapat secarik kertas yang terlipat. Nica mengambil secarik kertas itu, kemudian membacanya sejenak. Wanita itu lalu beranjak keluar membawa kertas itu.

Nica memberikan kertas itu kepada Dongsool. "Ini. Dua hari sebelum kami pindah ke Riverblossom Hills, kakakku memberitahuku bahwa seseorang mengajak kami untuk tinggal di sini." Ia kemudian duduk kembali di kursi makannya.

Dark Strokes: Sins of The FatherWhere stories live. Discover now