5. Mari Menikah

1.1K 59 3
                                    


"A-Arka Pa? Arka menikah? Papa ngga salah?" sampai terbata-bata aku bertanya saking kagetnya. Mengurus diri sendiri saja aku belum bisa, sekarang malah mau ditambahin beban ngurusin anak orang.

"Iya, kamu menikah!" Papa menjawab santai.

"Papa sudah putus asa menghadapi kamu Arka. Saatnya Papa menggunakan cara lain agar kamu jadi pria yang lebih bertanggung jawab. Kamu akan belajar banyak hal dengan menikah, yakinlah!"

"Tapi Pa, Arka masih SMA, belum cukup umur! Pasti akan ditolak sama petugas KUA deh!"

"Kamu sudah hampir dua puluh tahun Arka. Lupa ya, kalau kamu sudah dua kali tinggal kelas?" Papa menyunggingkan senyum mengejek. Tega, sama anak sendiri juga.

"Dalam Undang-undang nomor 16 tahun 2019 disebutkan, usia minimal untuk menikah adalah sembilan belas tahun!"

Buset, fasih bener Papa menyebutkan isi undang-undang padahal Papa bukan orang hukum dan sama sekali tak punya background hukum. Pasti papa sengaja menghapalnya sebelum bertemu denganku karena sudah menduga aku akan menolak idenya dengan alasan ini.

"Gini lho Pa," suaraku melembut, mencoba mengambil simpati Papa. "Pernikahan itu kan, sesuatu yang sakral, harus dipikirkan masak-masak. Arka enggak mau gagal berumah tangga seperti Papa dan Mama," kataku lagi, sok bijak.

"InsyaAllah tidak Arka, Papa sudah kirim orang untuk menyelidiki calon istrimu. Dia perempuan solehah, baik, pintar, sayang keluarga, dan yang paling penting, Azyura satu-satunya yang bisa menaklukkan kamu."

"A-apa Pa? Azyura?" aku terlonjak mendengar nama itu.

"Azyura itu, seperti nama guru les Arka."

"Tepat sekali! Memang Azyura guru les kamu. Hanya dia yang bisa menaklukkan kamu kan?" Papa tertawa.

"Astaga Papa, kaya ngga ada perempuan lain aja!" sungutku.

"Perempuan lain banyak Arka, tapi hanya Azyura yang bisa menghadapi kebadungan kamu!" Papa kembali terkekeh.

"Me-memangnya dia mau Pa, nikah sama anak SMA? Gimana Arka menafkahi istri Arka nanti Pa?" kalau aku tidak bisa menolak, harapan terakhirku adalah Azyura yang menolakku, meskipun itu menjatuhkan harga diriku. Pria setampan dan sekaya Arka ditolak cewek? Apa kata dunia?

"Papa sudah bicara pada Azyura dan dia mau."

What? Kesambet apa sih ibu guruku itu? Diam-diam dia menyukaiku, atau... ada sesuatu di balik itu?

"Kamu tenang aja, nafkah materi biar Papa yang tanggung. Tugas kamu hanya belajar dan lulus dengan nilai baik! Persiapkan dirimu menjadi next CEO di kantor Papa."

*************

Usai pelajaran hari ini, aku tak langsung ke rumah, mampir sebentar ke sebuah café mahal untuk bertemu Bu Azyura. Sengaja kupilih café mahal, karena kecil kemungkinan teman-temanku nongkrong di café ini, jadi pertemuanku dengan Ibu Guruku itu aman.

Tak ada yang kuberitahu perihal rencana pernikahanku kecuali Bimo, teman sebangkuku.

"Gue mau nikah!" kataku tadi saat kelas sepi di jam istirahat. Hanya aku dan Bimo berdua di dalam kelas. Siswa lain ada yang ke kantin, main ke kelas sebelah, ada juga yang biasa nongkrong di perpustakaan.

Mungkin kaget mendengar pernyataanku, spontan roti yang ada di tangan Bimo terjatuh. "Elu mau nikah?" pekiknya. Mata Bimo yang aslinya sipit, membulat menatapku. Baru ngasih tahu Bimo seorang aja udah heboh, gimana kalo ngasih tau teman satu sekolahan.

"Sssttt!" Aku menoleh kanan-kiri takut ada yang mendengar.

"Udah ngebet pengen begituan lo ya?" tanyanya sambil memungut roti yang terjatuh di lantai lalu melahapnya begitu saja.

"Sialan!" Kulempar buku yang ada di atas meja ke muka Bimo.

"Gue emang badung, tapi ngga mesum! Sori ya!"

Suerr sebadung-badungnya aku, enggak berani macem-macem sama cewek. Yah kalo cuma sebatas ngusilin, ngeprank, nakut-nakutin sih pernah, tapi mana berani aku nyentuh mereka. Bahkan nembak cewek sekalipun aku belum pernah, meski ada sih beberapa murid perempuan yang kutaksir di sekolahan.

Berkaca pada kegagalan rumah tangga orang tuaku, menyebabkan aku tak mau sembarangan berhubungan dengan perempuan. Cukup aku yang merasakan pahitnya perpisahan orang tua, anakku nanti jangan. Ish, udah macam orang tuir saja pemikiranku ya.

"Sama siapa? Sari? Nita? Aina? Yuana?" Bimo menyebutkan deretan cewek yang pernah kutaksir ataupun naksir aku.

Aku menggeleng, setengah berbisik aku menjawab, "Gue, bakal menikah, dengan Bu Yura. Azyura!"

Jawabanku bikin Bimo yang lagi makan roti tersedak, cepat-cepat ia meneguk air putih dari tumbler.

"Bukannya lo bilang benci setengah mati sama guru lo itu ya?"

Aku menghela napas lalu mengangguk. Bu Yura guru lesku itu memang selalu bikin ku kesal setengah mati. Bagiku, Bu Yura bukan hanya sededar guru tapi lebih seperti intel yang memata-mataiku. Kenapa enggak nyamar jadi kang bakso atau kang bubur aja sih?

Selepas kejadian ia mengerjaiku dengan kodok tempo hari itu, entah bagaimana caranya, aku selalu saja kepergok saat hendak kabur di saat jam lesnya tiba.

Suatu hari aku mengendap-ngendap pergi dari pintu belakang. Begitu di depan mobil, aku mencari-cari kunci mobil yang perasaan sudah kusimpan dengan aman di dalam tas.

Eh sekonyong-konyong ia muncul di hadapanku, "Cari ini Arka?" tanyanya sambil menggoyangkan kunci di depan mataku. Dari mana Bu Yura mendapatkannya coba.

Pernah juga aku sudah seneng-seneng karena berhasil kabur dari rumah dengan mobilku, eh dari jok belakang tiba-tiba muncul sosok Bu Yura, "Kamu mau kita belajar di mana, Arka?"

Apa ngga horror tuh? Akhirnya kukibarkan bendera putih. Udah deh daripada dibikinnya aku sport jantung lebih baik terima aja nasib, harus ketemu dengan dia seminggu tiga kali untuk mendapat pelajaran tambahan.

"Sudah menunggu lama?" Bu Yura muncul membuyarkan lamunanku.

"Maaf ya, saya harus ke kampus dulu bimbingan skripsi, lalu mengisi les di bimbel," ia menyeka keringat di dahi lalu menghempaskan tubuhnya di kursi café. Sepertinya lelah sekali.

"Ibu mau kopi, atau teh?" tanyaku, sedikit mengulur waktu agar bisa memikirkan cara yang tepat untuk menanyakan perihal rencana pernikahan kami.

"Ah tidak, setengah jam lagi, saya harus mengisi les di dekat sini." Dengan gusar ia menengok jam tangannya.

"Apa yang mau kau bicarakan Arka, cepatlah, saya tak mau membuang waktu."

Ya Tuhan terbuat dari apa hati wanita ini? Kami akan segera menikah tapi sepertinya tak ada sama sekali yang ia risaukan tentang hal itu.

"Mengapa Bu Yura mau menikah dengan saya?" tanyaku to the point sesuai permintaannya.

Bu Yura menatapku sembari menarik napas berat. Mulutnya masih terkunci rapat hingga tak sabar aku melontarkan dugaan, "Jangan bilang, diam-diam ibu menyukai saya ya," kataku penuh percaya diri. Tapi ibu guruku itu malah tergelak. "Arka... Arka... jangan besar kepala kamu ya! Mana mungkin bocah ingusan sepertimu membuatku jatuh cinta!" tegasnya.

Sialan.

"Lalu?"

"Uang. Aku butuh uang untuk pengobatan ibuku dan biaya sekolah adikku!" jawabnya tanpa sungkan. Dasar! Ternyata dia tak beda dengan Mama yang meninggalkan Papa dan memilih lelaki lain karena harta.

"Ibu tahu, apa yang paling kubenci di dunia ini?" aku menatap Bu Yura dalam-dalam.

"Cewek Matre!" kataku lagi tanpa menunggu jawabannya.

Bu Yura masih tampak tenang, ia malah menanggapiku dengan senyuman.

"Apa bedanya? Aku dan kau, kita sama-sama materialistis. Aku butuh uang papamu dan kau butuh jabatan CEO itu. Sudahlah turuti saja permintaan Papa. Apa susahnya menikah, setelah mendapat apa yang kita inginkan, kita bisa berpisah."


💔💔💔

Oh My Lovely TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang