2 menit berlalu namun tidak ada tanda-tanda akan terbuka nya pintu tersebut.

“Nyonya sepertinya kita harus mendobrak pintunya saja” Usul paman Jeps.

Fanya langsung menggeleng tegas. “Tidak paman, Ax akan semakin memberontak jika merasa dirinya terancam” Tolak Fanya halus.

“Tapi-”

Ceklek

Mendengar suara kunci terbuka, Fanya menoleh dan langsung membuka nya. Wanita itu tak dapat menyembunyikan wajah terkejutnya, kakinya bergetar hebat bahkan kesulitan untuk menahan beban tubuhnya.

Fanya hampir limbung jika tak ada Bramasta yang menahan tubuhnya. Dia menggeleng pelan dengan tatapan kosong.

“T-tidak mungkin” Lirih Fanya.

Kamar pewaris itu kini sangat kacau, banyak pecahan kaca yang berceceran di lantai. Namun yang menjadi titik perhatian mereka adalah anak kecil berusia 5 tahun berdiri tegak di samping bangkai anjing yang tewas mengenaskan dengan darah yang mengotori wajah dan lantai.

Lain halnya dengan Fanya yang terlihat syok pekerja di rumah terlihat biasa saja, seolah mereka sudah terbiasa dengan kekacauan ini.

“Psikopat” lirih Fanya membuat Bramasta tersenyum miring.

Fanya pergi begitu saja meninggalkan Axel yang menatap nya sendu.

Brak

Fanya mengunci dirinya di kamar ekspresi syok masih terlihat jelas di wajahnya.

“Agrh kenapa harus putraku yang mengalaminya” Teriak Fanya menarik rambutnya sendiri.

Pikirannya melayang pada masa lalunya, dimana selama dua tahun hidupnya menggambil tulang sumsum anak-anak jalanan dan memindahkannya pada manusia robot buatan ayahnya.

Bahkan dia masih ingat jelas ayah angkatnya, Barat. Adalah seorang pembunuh bayaran yang kejam, ayahnya dengan gila bekerja sama dengan profesor untuk membuat robot manusia sesuai dengan keinginan nya.

Pembuatan robot manusia tentu membutuhkan tulang sumsum manusia sungguhan untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Dia menyaksikan sendiri robot-robot ayah nya yang membunuh lawannya tanpa ampun sesuai perintah pria itu.

Dan sekarang dia melihat sendiri, anaknya tak jauh beda dengan robot-robot ayahnya. Apakah ini karma untuknya karena melakukan dosa besar pada kehidupan pertamanya.

Fanya menangis bersandar pada pintu kamarnya. “Ayah setelah mati pun dunia mengerikan itu masih ikut denganku” Lirihnya tanpa sadar tertidur.

Tiyas memilki trauma dengan darah, meski dia seorang dokter.

‡‡‡‡‡

Matahari sudah berganti dengan bulan. Di dalam ruang kerja nampak tiga pria cukup dewasa sedang membicarakan sesuatu.

“Saya mengundurkan diri” Tegas pria berjas hitam.

Pria yang sedang memegang gelas wine pun terkekeh. “Ada apa? Kenapa tiba-tiba ingin mengundurkan diri?”

“Kalian tak tau rasanya setiap hari  bangun pagi dan langsung masak, ah aku tak mau lagi kakak” Rengek pria itu.

“Bagaimana jika kita bertukar posisi, kamu di dunia model aku juru masak” Tawar pria itu.

Pria berjas itu melotot tidak terima. “Aku alergi flash kamera” Sinis nya.

“Saya mengundang kalian bukan untuk mengeluh. Laporkan hasilnya” Suara dingin dari pria yang duduk di kursi single menghentikan perdebatan mereka.

“Kamu dulu saja” Ujar pria berjas pada pria pemegang gelas wine.

“Kenapa harus aku? Kamu yang satu rumah dengannya” Bantah pria pemegang gelas wine tak terima.

“Bajingan kamu Bondan. Dari mana aku harus menjelaskan nya?” Tanya pria berjas itu.

“Dari awal hingga akhir”

“Kalian berdua memang bajingan. Dengar aku tak suka mengulang. Dua bulan setelah melahirkan dia jarang di rumah, berangkat pagi pulang larut malam hal itu cukup baik karena dia jarang mengamuk dan memukul anaknya. Namun keanehan terjadi kemarin sore, setelah mengeluh lelah dia istirahat namun meminta pengasuh untuk membawa kedua anaknya ke kamar.

Aku tak tau jelas apa yang terjadi namun malamnya dia berubah drastis, aku pikir dia menyuruh kedua anaknya ke kamar untuk memukulinya ternyata tidak. Dia berubah bahkan tidak marah-marah lagi, bicaranya mulai lembut kemungkinan dia mulai menerima kedua anaknya mereka pun makan dan bermain bersama layaknya ibu dan anak” Jelas pria itu yang tak lain adalah Bramasta Paradigma koki rumah Fanya.

“Aneh dia berubah dalam hitungan jam, tapi bukankah itu hal yang bagus?” Imbuh Bondan Wiliam, pemilik agensi permodelan.

Bramasta meneguk wine nya lalu kembali berbicara. “Tapi ada hal yang mencurigakan, waktu larut malam aku tak sengaja melihatnya di taman belakang dia mabok dan meracau tentang bagaimana dia tidak bisa membenci ayahnya. Dan yang paling mengejutkannya lagi dia menyebut nama seorang pria saat itu, Theo” Bramasta mengakhiri ceritanya dengan senyum miring andalannya.

Aura di ruang tersebut tiba-tiba mencengkram. Namun tidak terlalu keduanya ambil pusing.

“Membenci ayahnya? Tidak mungkin ku rasa keluarga mereka baik-baik saja” Ujar Bondan.

Bramasta mengangkat bahu acuh. “Aku juga sedikit merasa aneh, dia tak mengenal ku sebagai adik ipar nya” Lanjutnya.

“Jangankan mengenal mu sebagai adik ipar, dia bahkan lupa siapa ayah dari kedua anaknya" Sinis Bramasta melirik pria yang hanya diam.

Bondan tertawa keras. “Bukan lupa tapi tidak tau”

“Cinta konon, dia bahkan memperlakukan nya seperti jalang. Datang hanya menumpahkan spermanya saja” Sepertinya Bramasta memilki dendam terselubung pada pria itu.

Pria pemilik aura mencengkram itu menatap sepupunya tajam. “Saya akan datang di waktu yang tepat, dan carikan data tentang pria bernama Theo itu” Dingin pria itu.

Bramasta berdecak. “Ya ya ya tiga tahun lalu juga aku mendengar kalimat yang sama”

“Ngomong-ngomong tentang sperma, siang tadi putra mu mengamuk dia membunuh anjing penjaga pemberian mu. Dan nampaknya dia syok sampai hampir limbung saat melihatnya” Lanjut Bramasta.

“Apa ini pertama kali dia melihatnya? Seharusnya dia sudah tau akan hal itu, secara mereka satu rumah” Ujar Bondan bingung.

Bramasta mengangguk. “Dia tidak pernah tau secara langsung, hanya dengar dari mulut ke mulut”

Bondan terkekeh. “Ah sepertinya anak dan ayah tidak jauh beda”

“Sama-sama psikopat gila”

Sepotong lukaWhere stories live. Discover now