Kami duduk di kursi panjang di bawah pohon Akasia yang cukup rindang untuk melindungi kami dari teriknya matahari.

"Kenapa kamu pindah?" tanyaku tanpa basa-basi.

Kasih menggeleng. "Sebenarnya aku juga tidak ingin pindah, Le. Kenangan di sini banyak sekali. Tapi aku harus pergi, nenek sakit dan aku satu-satunya cucu yang nenek punya. Aku harus nemenin nenek."

"Sat-satriga?" suaraku tercekat sewaktu mengatakan nama itu.

Lagi-lagi Kasih tersenyum yang terlihat sendu. "Dia sudah pergi dan tenang di sana, Lea."

Aku meremas ujung rokku. Hatiku tercubit mendengar penuturan Kasih.

"Memang sulit untuk menerima kepergian Satriga, aku akui itu. Di setiap hariku pasti ada nama Satriga. Dia sudah memberiku momen-momen menyenangkan yang tidak akan bisa kulupakan. Sayangnya, tuhan sangat menyayangi Satriga dan mengambil Satriga lebih dulu."

"Aku sangat tahu andil Satriga dalam hidupmu, Le. Dia temanmu yang sangat baik bukan? Aku tahu kamu punya perasaan untuk Satriga."

Tubuhku membeku ketika kata-kata itu meluncur dengan mudah dari bibir Kasih.

Kasih memegang tanganku. "Kamu nggak usah panik, aku tidak akan memarahimu kok. Mungkin Satriga tidak menyadari akan perasaanmu itu, Le, tapi aku bisa melihatnya dengan jelas di matamu setiap kamu menatap Satriga. Awalnya aku sempat khawatir tentang perasaanmu itu, aku takut kamu mengambil Satriga dariku. Namun, Satriga sudah menyingkirkan kekhawatiranku ketika dia bercerita tentangmu padaku. Satriga mengganggapmu teman, dan aku percaya kepada Satriga."

"Maaf," ujarku lirih.

"Hey! Kamu nggak perlu minta maaf! Tidak ada yang salah sama perasaanmu itu!"

Aku menatap Kasih dengan mataku yang sudah berkaca-kaca. Membicarakan Satriga sangat membuat hatiku lemah. 

Kasih membawaku dalam dekapannya membuat air mataku turun lebih deras. "Ini memang tidak mudah, Lea. Tapi kita harus mulai menerima kenyataan ini. Kita harus mengikhlaskan Satriga," ucapnya.

Setelah tangisku mulai mereda aku mengurai pelukanku dan Kasih. "Apa kamu sudah mengikhlaskannya?"

Kasih mengangguk mantap. "Sudah, aku sudah mengikhlaskannya tapi bukan berarti melupakannya. Aku tidak mungkin terus meratapi kepergian Satriga dan mengacaukan kehidupanku. Satriga sudah membuat hidupku lebih berwarna jadi aku tidak ingin kembali membuat hidupku kembali terperangkap dalam satu warna yaitu kelabu. Pasti Satriga akan sedih di sana jika aku tidak baik-baik saja karena dirinya."

"A-aku masih belum bisa, Kasih. D-dia membuatku lebih baik tapi dia pergi begitu saja! A-aku-" Aku meremas rambutku sembari menggeleng.

Kehilangan Satriga dalam hidupku tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Sayangnya, kita tidak pernah bisa memprediksi umur manusia. Satriga pergi di umurnya yang masih muda.

"Iya, aku tahu, Lea. Aku mengerti perasaanmu." Kasih merangkul bahuku dan mengusapnya lembut berusaha menenangkanku.

"D-dia membuatku selalu bersemangat bersekolah. Mengubah masa-masa SMA-ku yang aku kira hanya akan berwarna abu-abu saja menjadi ada setitik putih. Mulanya aku kira itu hanya setitik putih tapi ternyata lebih dari itu. Satriga pemberi warna terbaik dalam hidupku. Tapi-"

Lagi-lagi aku tidak bisa meneruskan ucapanku.

"Kamu sudah ke makam Satriga, Le?"

Pertanyaan Kasih menusukku tepat ke hatiku. Aku tidak pernah berani pergi ke makam Satriga, bahkan saat Satriga di makamkan aku tidak datang dan hanya mengurung diri di kamar. Menganggap bahwa semua yang terjadi hari itu hanya sebuah mimpi.

"Saat nanti perasaanmu sudah membaik kamu harus ke sana, Le. Do'a kan Satriga. Katanya dia temanmu yang baik kan? Maka kamu juga harus menjadi teman yang baik dengan mendo'a kan Satriga.

"Menggenang Satriga dengan bunga Anyelir yang setiap hari kita bawa tidak akan merubah apa pun, Le. Satriga tidak akan kembali. Aku mengetahui fakta ini tapi aku tetap saja membawa bunga Anyelir setiap pagi, lucu, ya? Aku cuman ingin mengenang Satriga sebelum aku pergi itu saja. Jangan mengacaukan hidupmu, Le, dengan terus tergenang dalam lubang kesedihan. Kamu harus bangkit dan tunjukkan bahwa kamu baik-baik saja. Satriga akan senang mengetahui temannya baik-baik saja tapi sebaliknya Satriga pasti akan bersedih melihatmu yang bersedih dan tidak bisa menerima kepergiannya."

Aku tidak menjawab apa yang dikatakan oleh Kasih sebab itu semua benar.

"Aku yakin kamu bisa dan pasti akan baik-baik saja. Yang kamu butuhkan sekarang adalah waktu." Kasih kembali memeluk sembari menepuk punggungku.

Bersambung...

Drak Grey (Selesai) ✓Where stories live. Discover now