Prolog

33.3K 2.8K 106
                                    

Prolog

Tenaganya sudah habis.

Dia sudah capek.

Tangannya mengusap permukaan piring beberapa kali dibawah pancuran air kran sebelum meniriskan dan meletakkan pada rak piring. Seharusnya, kegiatan mencuci piring enggak membuat penat begini. Sayangnya, Miwa terlanjur lelah. Rasa lelahnya semakin menjadi saat melihat pintu kamarnya yang tertutup rapat.

Kemudian dia menarik napas lagi.

Baru selesai mencuci piring, suara guruh dari luar sana kembali menggelegar. Rumah mereka yang beratapkan genteng tanah liat menyalurkan suara guruh itu dengan baik. Jantung Miwa tersentak, kala mendengar suara rintik hujan dari rintik pertama hingga berbondong-bondong membasahi atap rumahnya dengan cepat.

Astaga! Cuciannya!

Miwa segera mengambil sendal jepit, membuka pintu belakang. Embusan angin yang begitu kencang menerpa dirinya. Dingin dan guyuran hujan pada tubuhnya tak lagi menjadi penghalang bahwa dia harus segera mengambil cuciannya yang baru saja dia jemur tadi sore.

Suara ayam yang tergesa dari kandang sebelah rumahnya tidak membuat gerakan Miwa surut. Ditaruhnya segala pakaian di tangan kirinya, baik setengah kering maupun masih lembab. Puncak kepalanya sudah basah karena air hujan. Dalam waktu lima menit, Miwa kembali ke dalam dapur.

"Mi, cucian!" Ibunya baru keluar dari dalam kamar, sedangkan Miwa menaruh pakaian-pakaian dari atas tangannya di sebuah keranjang besar.

"Kamu jemur di dalam ya?" Ibunya memberikan titah, Miwa enggak menjawab dengan suara. Tangannya mulai menarik tali tambang di atas dapur mereka dan mengaitkannya kuat pada paku di sisi kanan dan kiri dinding yang belum pernah di-cat.

Dengan telaten, tangannya mulai mengatur lagi satu persatu cucian itu dengan tenang, sedang ibunya kembali masuk ke dalam kamar.

Dia masih ada ujian matematika.

Dia masih ada ujian matematika.

Sebentar lagi mati listrik bergilir.

Ucapan-ucapan itu tentu hanya terdengar oleh telinganya. Toh, Miwa hanya mengucapkannya dari dalam hatinya. Suasana dapur tetap hening.

Dia sudah lelah.

Masih tersisa lima belas menit lagi sebelum mati listrik di desa ini, Miwa masuk ke dalam kamarnya dan mendapati adiknya, Nazira, sedang menggunakan meja belajar. Telinga adiknya  tengah memakai earphone dari walkman yang baru saja bulan lalu dibelikan oleh Ayah kepada mereka.

Miwa mengambil tas sekolahnya, membawanya ke meja makan. Ada Lembar Kerja Siswa harus dia selesaikan malam ini karena merupakan persyaratan ujian matematika esok hari.

Listrik pun padam.

Miwa menarik napas panjang. Dia beranjak untuk mengambil lampu petromaks yang tergantung di lemari pembatas antara ruang tamu dan ruang makan. Miwa mengambil lampu itu, berjalan menuju dapur dan mengisinya dengan minyak tanah sebelum menghidupkannya dengan korek.

Lampu itu kemudian ditaruhnya di atas meja makan.

Rumahnya benar-benar hening.

Miwa membuka halaman sembilan puluh serta mengeluarkan kertas coretannya.

Sungguh, dia sudah enggak bisa lagi berpikir jernih. Pensilnya tetap berada di tangan, enggan menyentuh kertas karena Miwa sudah tak bisa lagi fokus. Badannya menjerit meminta istirahat.

"Pak Kades! Pak Kades!"

Teriakan itu mengganggu Miwa, bercampur dengan suara derasnya hujan dan suara guruh yang masih enggan diam dari cakrawala. Dengan tergesa, sepertinya juga mendengar hal yang sama, Ayah dan Ibunya keluar dari kamar dan membuka pintu rumah.

Miwa membawa lampu petromaks, ikut bergabung dengan kedua orang tuanya.

"Siapa ini, Badir?!" Suara ayahnya besar, tegas dan menggelegar. Mengalahkan suara hujan yang beradu dengan atap dan tanah.

Pak Badir, yang bekerja sebagai satpam pabrik datang bersama beberapa orang. Ibunya menyambar lampu di tanganya, memberikan penerangan pada tamu-tamu tak diundang mereka tengah memeluk seorang anak laki-laki.

Dia menunduk, badannya gemetar hebat.

"Enggak tahu, Pak! Dia udah jalan nggak tahu arah, kehujanan di pos hansip depan! Sepertinya habis diculik dan dibuang. Katanya dari kota."

Tubuh gemetar anak itu menandakan betapa kedinginannya anak laki-laki itu.

Miwa mundur saat Ayahnya mengajak masuk anak itu, beserta tamu-tamu yang lain.

"Mi, tolong masak air untuk anak ini mandi. Juga nyalakan lilin di kamar mandi," ujar Ayahnya. Miwa mengangguk patuh. "Juga siapkan makanan. Sepertinya dia kelaparan."

Miwa kemudian mengambil langkah mundur. Matanya sudah terbiasa dengan kegelapan, hingga bisa menemukan lilin dengan cepat. Ia lagi-lagi ke dapur untuk memasak air agar anak laki-laki itu bisa mandi.

Dan, adiknya masih di dalam kamar.

***

Baju Ayah tampak begitu kebesaran dipakai anak laki-laki itu. Dia sudah mandi air hangat dan enggak lagi gemetaran. Mereka tengah duduk berhadapan di meja makan. Lampu petromaks ada diantara mereka. Tentu saja tanpa suara. Miwa sendiri sedang sibuk memikirkan jawaban untuk soal-soal yang bahkan belum sempat dia kerjakan itu. Setelah huru-hara yang terjadi, orang tuanya pergi ke desa sebelah yang tidak mati listrik untuk menghubungi nomor telepon yang diucapkan anak laki-laki di depannya itu.

Miwa tanpa sadar melirik ke arah nasi yang sudah kosong di piring anak itu.

Dia mengetuk-ngetuk pensil di dagunya.

"Kamu umur berapa?" tanya Miwa, setelah setengah jam mereka dalam keheningan.

"Empat belas."

Miwa mengangguk. "Umurku tiga belas. Kamu bisa cuci piring sendiri?"

Tampak ragu, anak laki-laki mengangguk. Dia pasti shock dengan apa yang telah terjadi dengan dirinya.

Miwa kembali menunduk, "Masih ada lilin yang menyala di dapur. Kamu cuci piring sendiri ya? Nanti aku bisa dimarahi Ibu kalau ada piring yang kotor pagi-pagi."

Anak itu kembali mengangguk. Dia akan berdiri, tapi lagi-lagi tampak ragu.

"Besok kamu akan diantar Ayah ke Jakarta," Miwa bahkan enggak tahu harus membicarakan apa dengan anak laki-laki itu.

"Te...rima kasih."

Melihat anak itu belum berdiri, mata bulat Miwa masih memperhatikannya. "Kenapa? Kamu takut gelap?"

Ia hanya diam.

Miwa kembali melirik anak itu. "Kenapa belum ke dapur?" desak Miwa lagi, dia enggak mau Ibu mencuci piring pagi-pagi karena memiliki sakit rematik.

Anak itu menelan ludah, "Oh. Kamu lagi ngerjain apa?"

"Matematika."

"Aku bisa matematika, tapi aku enggak bisa cuci piring," sepertinya ini kalimat terpanjang setelah dua jam anak itu dirumah ini.

Miwa kembali berpikir. Pada akhirnya, dia menyerahkan Lembar Kerja Siswa pada anak laki-laki itu dan mengambil piring dan gelasnya. Anak laki-laki itu meraih pensil Miwa, kemudian dengan serius berpikir. Wajahnya tampak tampan bahkan dari penerangan lampu petromaks diantara mereka.

Miwa memperhatikan anak laki-laki itu dalam diam.

"Namaku Miwa. Jelita Miwa."

Anak itu mengangkat wajahnya.

"Nama yang cantik."

"Nama kamu?"

"Arsyanendra."

"Namamu ... rumit."

Miwa tersenyum dan beranjak menuju dapur.


TBC

Nah kalau yang ini tes ombak dulu yaa✌🏻




We Have To Break Up | ✓Where stories live. Discover now