PROLOG

24 1 0
                                    

"Huhh."

Hembusan napas kasar keluar begitu keras dari mulut gadis yang kini tengah berlumur keringat. Bola ditangannya menjadi penentu akhir dari pertandingan kali ini.

Asa. Perempuan itu menatap lamat-lamat ring basket di depannya, perlahan ia memantulkan bola dan melemparkan tepat saat peluit berbunyi.

Bola melambung tinggi bersamaan dengan tatapan penuh harap dari suporter, Ultras SMANSA.

Fuittttttttttt

Peluit panjang berbunyi, tanda berakhirnya permainan. Bola harapan seluruh warga Smansa tadi menolak masuk ring. Membuat sorakan brutal terdengar dari tribun lawan.

Asa menunduk memegang lututnya, membiarkan keringat menetes pada kulit lapangan. Cukup khawatir menoleh kebelakang. Tidak ada yang selalu menang. Tetapi 2 tahun belakang ini, Asa tidak pernah merasa kekalahan.

Gadis itu, telah mengecewakan sekolahnya. Sahabat, teman, tim, sekaligus coach. Kutukan basket smansa tahun ini dipatahkan hanya karna dirinya tidak profesional?

Asa terduduk tidak seharusnya ia mencampurkan masalah keluarga dalam pertandingan. Dadanya naik turun merasakan letihnya pertandingan kali ini.

Perempuan itu mendongak kala sang pelatih menepuk bahunya.

"Asa gagal coach," adunya.

"Gak ada yang gagal, kamu masih juara 2. Menang kalah gak ada yang bakal berubah," pria berusia 30 an itu kembali menepuk bahu Asa.

Sempat tersenyum tenang, sebelum pelatihnya itu kembali bersuara.

"Paling juga purna captain."

Asa melirik sinis coach Husain yang tertawa menjauhinya. Gadis itu berdecak. Jokes sialan.

"Asa! Thanks udah buat gue menang."

Killa, kapten tim lawan menghampiri Asa dengan cerianya. Entahlah Asa rasa ia sedang diremehkan.

"Bukan gue, tapi kalian sendiri," Asa tersenyum menanggapi uluran tangan Killa.

"Lain kali lo harus menang banyak dari gue, oke?" sindirnya tak mau direndahkan.

"Tai lo."

Asa mendorong bahu Killa sambil tertawa. Dia menghampiri timnya di pinggir lapangan.

"Sorry, kali ini gak menang."

Cio menatap Asa, "Yaelah, santai ae kali Sa. Kasian kepsek kekurangan tempat kalo kita menang piala emas mulu."

Dena tertawa menanggapi omongan Cio, "Bener. Kali-kali sertif doang yang dipajang ya, haha."

Velin mengangguk. "Iya juga, biar kepsek mikir dana cairan tuh buat kita semangat, jadi jangan dipersulit."

Asa terkekeh. Ia tidak yakin mereka akan kembali menenangkan Asa seperti ini jika tau masalah sebenarnya ada pada dirinya. Seharusnya jika poin volt tadi ia berikan pada Dena, mereka pasti menang.

Ah lagi lagi ia merasa bersalah. Pikiran gadis itu kembali terlempar pada ucapan Oma-nya.

"Main basket dapet apa? Bisa kuliah gak? Punya cucu cewek sok sok an main basket, biar apa? Biar banyak yang ngeliatin badan kamu?"

Sial. Andai saja mulut kotor itu tidak terbuka pada hari raya kurban, tepat dimana seluruh keluarga besarnya berkumpul. Asa bisa memaafkannya.

ABOUT ASAWhere stories live. Discover now