Alkisah : 23

157 27 0
                                    

Usai menjalankan coass Yuki sedikit kelabakan karena Stefan nyatanya tidak bercanda saat mengatakan akan berangkat ke Surabaya. Stefan telah memesan tiket, lelaki itu akan tiba di Surabaya 30 menit lagi. Beruntung, hari ini Yuki pulang lebih cepat dari biasanya.

Yuki sudah bersiap, dia mengenakan dress biru tua selutut bermotif polkadot dan jaket denim serta flat shoes sebagai pelengkap. Rambut panjang ikalnya, di ikat cepol. Setelah merasa penampilannya sudah rapi, Yuki segera mengambil kunci mobil, menuju ke Bandara.

Melakukan perjalanan beberapa menit melewati tol, Yuki akhirnya sampai diparkiran bandara. Dia keluar dari mobil dan mengunci mobilnya, lalu berjalan ke arah tempat kedatangan domestik. Satu per satu penumpang mulai keluar, Yuki sedikit berjinjit untuk mencari keberadaan Stefan.

Dua puluh tujuh menit berlalu, Stefan mulai terlihat. Lelaki itu memakai jaket, kaos berkerah berwarna biru tua dan celana denim, senada dengan penampilan Yuki saat ini, padahal mereka tidak janjian sebelumnya. Dipunggung Stefan, ada tas ransel yang Yuki yakini —hanya berisi laptop serta perangkat barang elektronik itu dan juga beberapa berkas penting yang Stefan bawa —karena Yuki tau, Stefan masih lumayan sibuk dengan pekerjaan dan lelaki itu malah menyempatkan diri untuk mengunjunginya.

Senyum Yuki merekah tatkala Stefan menyadari keberadaannya. Lelaki itu berjalan cepat mengulurkan tangan ke arahnya. Dengan sigap Yuki meraih tangan Stefan dan menyalimi tangan lelaki itu —ini merupakan salah satu kebiasaan Yuki jika bertemu Stefan, lambat laun membuat Stefan juga mengikuti kebiasaannya.

"Lama gak buk, nunggunya?"

"Gak kok, pak." Yuki menggeleng pelan kemudian berjalan beriringan dengan Stefan menuju ke tempat parkir. 

000

Senyum tak henti-hentinya tampil diwajah Stefan. Stefan merasa senang karena setelah sebulan lamanya, akhirnya dia memiliki kesempatan untuk menyambangi Yuki.

Penampilan mereka terlihat seperti pasangan dengan pakaian yang begitu padu —membuat Stefan tertawa geli. "Padahal, kita gak janjian kan ya, buk? Kok bisa lah, samaan."

"Entahlah." Yuki menggendikan bahu, tersenyum lebar dengan tangan terangkat ke udara. Ekspresi Yuki mencetus tawa Stefan semakin membesar, tak peduli dengan orang-orang yang sebagian berada di parkiran.

"Apalah, buk. Komuknya itu lho." Stefan meletakan tas di jok belakang, dia duduk di kursi kemudi, kemudian beralih menyentuh wajah Yuki menggunakan jemarinya —berniat mengusili gadis itu. Namun, yang diusili hanya tertawa sembari fokus memasang sabuk pengaman untuk mereka. "Mau nongkrong dimana nih, Dat?"

"Di pohon aja gimana, Mas?" Stefan menaikan sebelah alis, matanya sengaja menatap Yuki dengan tatapan sinis. Lagi, Yuki tertawa. "Eh, tapi Thomas kan kereta bilu yak, ya udah, Thomas di rel kereta api, terus aku di pohon aja deh. Jadi, kita mendalami peran gitu, Mas."

"Terus gunanya Thomas kesini apa Dat, kalau nongkrongnya pisah-pisah?" Stefan tak kuasa menahan tawa. Tidak di telfon atau video call, saat bertatap muka juga masih sempat-sempatnya mereka seabsurd ini.

"Bercanda atuh pak, kalaupun niat nongkrong di pohon mah, ibuk pake daster putih dulu."

"Macam kuntilanak bah! Kek mana lah kau ini bodat!"

Yuki mengangguk sembari tergelak. "Ya  gak kek mana-mana lah, pak."

"Ada aja lah kau ini, Bodat." Stefan menggeleng pelan. Sepertinya jika mereka memiliki anak dimasa depan, Stefan yakin, anak mereka akan terlahir mewarisi keabsurd-an mereka layaknya komedian alami. Membayangkan hal itu, semakin membuat Stefan tergelak.

"Ngomong-ngomong masalah nongkrong, bapak niatnya sampai kapan di Surabaya?" Yuki bertanya, menyudahi kekonyolan mereka. Gadis itu melirik Stefan yang kini tengah menyetir, keluar dari bandara.

"Cuma satu malam ini, buk." Stefan berdehem, dia melirik kaca memastikan tidak ada kendaraan dibelakang, lalu berbelok menuju jalan tol. "Soalnya, besok jam satu siang ada klien yang mau ketemu. Jadi, bapak baliknya pakai pesawat pagi."

"Oalah, begitu toh." Yuki mengangguk, gadis itu melirik jam dipergelangan tangan, sudah pukul 5 sore lewat sembilan menit. "Mau nginap dimana, pak? Hotel langganan, atau?"

000

"Niatnya sih gak nginap di hotel, buk. Gimana kalau kita belanja ke TP, terus nongkrong di Trestes habis itu ngopi di kafe langganan. Mau gak, buk?"

Netra kelam Yuki membelak tatkala mendengar perkataan Stefan. "Hah? Jadi kita begadang gitu?"

Stefan mengangguk dengan dengan yakin, tak ada keraguan diwajah lelaki itu "Iya, mumpung ibuk besok libur, gak apa kan kalau kita begadang? Soalnya sampai dua bulan ke depan, bapak sibuk. Bapak gak bisa sering-sering ke Surabaya lagi. " —ucapan Stefan membuat Yuki meringis.

"Yakin, pak?" Bukannya Yuki tidak setuju, hanya saja dia memikirkan Stefan yang besok harus kembali ke Bandung pagi-pagi. Kalau mereka begadang, bukankah Stefan jadi tidak memiliki kesempatan untuk istirahat? "Pak, bapak tuh butuh istirahat kali. Apa lagi besok mau pulang pake penerbangan pagi, terus siangnya ketemu klien. Nanti malah sakit lagi lho."

"Cie cie, yang mulai khawatir!" Stefan meliriknya melalui spion mobil, tersenyum tengil padanya —yang lelaki itu sering tunjukan kalau dia mulai cemas dengan kondisi kesehatan lelaki itu— hingga membuat Yuki jadi gemas, ingin mencubit lelaki itu kalau saja dia tidak ingat, Stefan sedang menyetir.

Sabar, sabar Yuki.

"Hanya sehari ini, buk. Toh kita bakalan ldr dua bulan lagi, kan. Ibuk mah kuat, bapak yang gak kuat. Apa lagi bapak bakalan keluar kota, tempatnya susah jaringan, buk."

Yuki terdiam menimbang ucapan Stefan. Sebuah pikiran mengganjal, tiba-tiba terlintas di otaknya. Mengabaikan semua ucapan Stefan, Yuki bertanya. "Berarti pas ibuk sumpah dokter, bapak gak bisa hadir?"



ALKISAH (STEFAN & YUKI)Where stories live. Discover now