Enam

4 0 0
                                    

Pagi itu Satya sarapan untuk yang pertama kalinya di rumah mama mertuanya setelah pernikahannya dengan Dara. Pak Arsya, mama Tami, Lana, dan Satya duduk bersama menyarap. Mereka terlihat harmonis dan tenang.

"Nanti kamu langsung pulang kerja kan?" tanya mama Tami kepada Satya.

"Iya, ma," jawab Satya.

"Soalnya mama mau kenalin kamu sama teman-teman mama yang baru datang dari Amerika."

"Iya, ma."

"Ma, aku ke atas bentar. Mau liat Dara. Sekalian ijin pamit ngantor," lanjutnya.

"Ahh, so sweetnya." Mama Tami terlihat begitu senang melihat keharmonisan dan keromantisan rumah tangga anaknya.

Satya bergegas meninggalkan meja makan. Ia menaiki anak tangga lalu masuk ke dalam kamar. Satya mengambil handphonenya yang tercharger.

"Aurel, maaf bangat hari ini gak bisa datang ke party kamu."

"Yah, mas Satya. Kenapa?" tanya seseorang dari seberang sana.

"Ada hal penting yang harus aku kerjakan."

"Yah mau gimana lagi."

"Happy birthday."

Satya menutup telepon kemudian pergi dari kamar dimana ada Dara yang masih tertidur pulas.

Tak lama setelah kepergian Satya Dara terbangun dengan wajah penuh kemenangan. Ia tersenyum picik seakan-akan berhasil melakukan apa yang ia inginkan.

Bersamaan dengan Satya keluar rumah Lana mengajak kakak iparnya itu bercengkerama sejenak.

"Kak Satya."

"Iya, Lana."

"Kak Satya marah sama Lana ya," ujar Lana.

Wajah Satya mengerut. Ia menoleh melihat Lana.

"Marah? Marah karena apa?"

"Karena Lana kak Dewa datang jengukin kak Dara kemarin di rumah sakit."

Satya tersenyum kecil. Menggaruk telinganya yang tidak gatal.

"Itu hal yang kecil, Lana. Lagian Lana gak salah apa-apa kok. Bagus juga kalau ada yang jengukin kakak kamu."

Dilihat dari ekspresi Lana jelas sekali gadis berusia dua puluh tahun itu tidak puas dengan penjelasan kakak iparnya itu. Meski begitu ia sedikit merasa lega karena Satya tidak marah kepadanya. Satya memang irit bicara orangnya. Jadi wajar saja kalau kita selalu merasa bersalah didekatnya.

"Yuk, bareng," ajak Satya.

"Makasih sebelumnya kak. Hari ini Lana dijemput sama Edo."

"Edo?"

Lana mengangguk tersenyum ceria.

"Dia teman kampus Lana."

"Ya sudah kalau gitu kakak berangkat."

"Assalamualaikum," lanjut Satya.

Satya msuk ke dalam mobil berwarna hitam dan melajukan mobilnya dengan pelan menyusuri halaman rumah yang luas. Tak lama setelah itu terdengar suara motor memasuki halaman rumah. Motor berwarna abu-abu yang terlihat gemoy. Seorang pria mengenakan helm tanpa kaca mngendarai motor itu dengan senyum manis di wajahnya. Akhirnya berhenti tepat di depan gadis cantik yang sholehah.

"Atas nama Lana. Lana Samudra Gelora." Terdengar jelas suaranya yang khas serak basah. Ditambah senyumannya yang candu.

Lana tersenyum bahagia mendengarnya.

"Atas nama Ernando Gema Lesmana." Lana membalas godaan Edo.

Seusai mereka bercandaan akhirnya Edo dan Lana pergi dengan diakhiri bunyi motornya yang sedikit berisik.

Sejak kapan Dara di atas sana? Berdiri di balkon kamarnya sambil menyeringai kesal.

"Modal motor butut!"

Terbantukan dengan satu tongkat Dara berjalan pelan masuk ke kamarnya. Ia duduk di depan meja rias.

"Sampai kapan pun Satya harus menderita. Tidak boleh bahagia. Sedikit demi sedikit senyumannya akan tergantikan dengan air mata penyesalan!"

Dara beranjak seusai mengucapkan beberapa kalimat tadi dengan wajah yang bisa dibilang menyedihkan untuk dirinya sendiri. Wajah yang penuh dengan dendam. Rasa sakit hati yang ia rasakan karena harus menikah dengan laki-laki yang tidak ia cintai sedikit pun. Meski kakinya masih terasa sakit tapi Dara tidak ingin menyulitkan siapa pun. Dia hanya gengsi. Gengsi berat.

DARA'S WEDDINGWhere stories live. Discover now