Dua

28 2 0
                                    

Beberapa jam lagi matahari berada di puncaknya. Bersinar dengan teriknya di langit biru yang terlihat cerah dan cantik.

"Tolong bangunin si anak manja," pinta Satya kepada bi Anum.

Seketika wajah bi Anum berubah. Ia terlihat sedikit ketakutan dan hanya berdiam diri ditempatnya bak patung.

"Ada apa, bi?" tanya Satya heran.

"Anu, tuan ganteng," jawab bi Anum tremor.

"Anu, apa?"

Bi anum menggaruk belakang telinganya. Padahal ia tidak merasakan gatal disana.

"Ya sudah kalau bi Anum gak mau biar saya saja." Satya hendak bangkit dari duduknya.

"Bukannya bi anum tidak mau tuan ganteng, tapi,"

"Tapi, kenapa?"

"Tidak apa-apa tuan ganteng. Saya permisi bangunin nona Dara." Bi Anum dengan sigapnya melaksanakan perintah dari Satya yang sempat ia ragukan tadi.

Satya tersenyum. Ia mengambil cangkir yang berisikan kopi hitam buatan bi Anum. Lalu menyeduhnya dengan nikmat.

Tidak lama menyarap Satya mendengar keributan dari lantai dua. Satya segera meletakkan roti yang hendak dimakannya.

"Keluar!"

Dara terdengar membentak.

Satya lalu meninggalkan roti yang hendak dimakannya. Ia berjalan cepat menaiki anak tangga.

Tiba di depan kamar Dara betapa terkejutnya Satya mendapati tangan Dara yang berdarah dan kaki Dara yang berdarah. Ia khawatir tapi tidak bisa melakukan apa-apa karena ia tahu bagaimana sikap dan sifat Dara.

"Bibi kenapa nangis?" tanya Satya.

"Tadi bibi mau rapihin kamar non Dara. Bibi mau ambil bingkai foto yang tergeletak dibawah. Tapi tiba-tiba non Dara mendorong bibi." Bi anum menunduk terlihat ketakutan karena sikap Dara yang kasar kepadanya.

Satya menatap Dara kesal. Ia tidak habis pikir sekasar itu sikap Dara kepada orang tua. Akhirnya Dara dan Satya saling tatap-tatapan.

"Dar, benar itu?" tanya Satya pelan.

Dara menyeringai kesal. "Kalian berdua lebih baik pergi dari sini!"

"Bi, saya minta maaf atas perlakuan Dara yang tidak pantas. Saya pengen bicara sama Dara."

Bi Anum segera pergi dengan raut wajah yang sedih. Entah dia sedih dengan perbuatan kasar majikannya itu atau terharu melihat ketulusan Satya kepada Dara yang secara terang-terangan tidak menerimanya.

"Masuk saja. Aku gak lebay dengan cara  melarang kamu untuk masuk ke kamar aku. Toh dari awal kita tidak ada kesepakatan apa-apa. Sebaliknya malah."

Dengan berjalan kesakitan karena kakinya yang berdarah Dara berjalan di kamarnya yang terlihat seperti kapal pecah. Diikuti Satya yang tidak mengalihkan pandagannya dari gadis berambut panjang berantakan didepannya yang berjalan pincang. Satya tidak seromantis laki-laki biasanya. Ia tidak berani juga untuk bertindak seharusnya. Ia tahu betul kalau kutub utara sedang dingin-dinginnya.

Dara duduk di sofa yang sobek acak-acakan sementara Satya hanya berdiri di samping sofa berwarna hitam itu.

"Mau bicara apa?" tanya Dara.

"Handphone kamu mana?"

Dara sedikit bingung. Ia bingung dengan pertanyaan Satya.

"Gak tau."

Satya beranjak. Ia menggeledah setiap sudut kamar Dara. Ia mencari apa yang ia cari. Akhirnya ia menemukan handphone Dara di bawah kolom tempat tidur.

Satya tersenyum ketika melihat layar handphone Dara.

"Pernah ompong juga kamu."

"Kayak gak pernah ompong aja," balas Dara terkesan dingin dengan candaan Satya.

"Pernah sih tapi gak sebanyak ini."

Satya tersenyum lebar memandangi gambar anak kecil imut menggemaskan yang tengah tersenyum lebar tanpa empat gigi. Anak perempuan itu duduk dipangkuan nenek berselendang hitam.

"Nenek gelora cantik bangat disini. Gak kebayang dulu mudanya seperti apa. Ihh MasyaAllah." Satya berdecak kagum memuji kecantikan nenek Gelora yang telah meninggal dunia.

"Mirip aku."

Satya melirik Dara. Sesekali juga melirik foto wajah nenek Gelora. Ia memperhatikan wajah nenek Gelora yang mirip dengan wajah Dara.

"Sama-sama cantik."

Satya menuliskan no handphone di handphone Dara. Ia menyimpannya dengan nama 'si ganteng❤️'. Kemudian mengembalikan kepada Dara.

"Ngapain sih otak atik handphone aku?" Dara melihat ponselnya dan itu membuatnya terbelakak.

"Norak banget deh."

"Apanya yang norak?" tanya Satya berjalan mendekati Dara.

"Kamu."

"Jangan diganti. Kalau kamu ganti nama aku di handphone kamu itu artinya kamu suka sama aku."

"Jijik."

Satya hanya tersenyum melihat kelakuan istrinya itu. Baginya itu sudah hal biasa dan ia harus terbiasa dengan itu meski ia ada usaha untuk mencairkan es di kutub utara.

DARA'S WEDDINGWhere stories live. Discover now