20. Happy Birthday Arrion

Mulai dari awal
                                    

Tidak peduli juga pada Arrion kecil yang sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Atau ... sekadar butuh pendengar untuk menceritakan keluhan dan beragam perasaan setelah melakukan aktivitas seharian.

“Mau ikut Mama atau Papa?”

Arrion tidak mendengar pertanyaan menyakitkan sekaligus membingungkan seperti itu, seperti kebanyakan yang dirasakan anak korban penceraian.

Juga tidak ada drama perebutan hak asuh anak.

Keegoisan orang tuanya lebih buruk dari itu. Mereka bercerai. Lalu pergi mencari kebahagiaannya masing-masing tanpa mengikut sertakan Arrion didalamnya. Meninggalkan dan menelentarkan Arrion di rumah mewah hanya dengan para pekerja.

Arrion benar-benar tidak beruntung perihal orang tua.

“Mama mau pergi lagi?” Arrion kecil berlari menghampiri Mama, mengabaikan nyeri di lututnya yang berdarah. Bertanya dengan raut penasaran yang menggemaskan, saat melihat Mama memasukkan lebih banyak koper dari biasanya ke bagasi mobil.

“Jangan nakal.” Mama hanya mengusap kepalanya. Lalu masuk ke dalam mobil dan pergi.

“Papaaa ...,” Arrion tersenyum senang saat melihat Papa ada dirumah. “Mama mau pergi lagi?” tanyanya, karena sebelumnya tidak mendapat jawaban yang diinginkan dari Mama.

“Hm.” pria yang dipanggil Papa oleh Arrion itu hanya bergumam. Tanpa meliriknya, fokus pada laptopnya.

“Bakal lama banget ya, Pa? Aku liat kopernya banyak,”

“Papa lagi sibuk, jangan ganggu.” usir Papa.

“Lutut aku berdarah,” adunya, melirik darah di lututnya yang mulai mengering. “Nggak sengaja jatuh disekolah.” sambungnya, kembali menatap Papa, berharap pria itu memberikan respon seperti orang tua teman-temannya.

Yang akan langsung bereaksi panik dan khawatir. Dengan bertanya, “Sakit, ya? Coba Papa liat.” lalu “Ayo kita obatin, biar cepet sembuh.” sembari mengusap-usap area pinggiran lukanya dan meniup lembut saat mengobati.

Namun, kenyataan yang Arrion dapati selalu berbeda. “Minta tolong obati sama bibi, sana.” ucap Papa datar, tanpa mau untuk sekadar melihat lukanya.

“Aku maunya sama Papa atau ... Mama.” rengek Arrion. Karena Arrion mendapatkan luka itu dengan sengaja, untuk mencari perhatian orangtuanya.

Arrion melihat teman sekolahnya terjatuh saat berlari menghampiri orang tuanya yang menjemputnya. Lalu dia melihat bagaimana paniknya orang tua dari temannya itu. Jadi, Arrion mengikutinya, melukai dirinya sendiri dan berharap akan mendapat reaksi yang sama dari Papa dan Mamanya.

“Papa sibuk, kamu nggak liat?”

“Tapi temen-temenku kalo sakit yang ngobatin Mama sama Papanya, aku juga pengen kayak gi—”

“ARZANKA!” saat Papa sudah menyebut nama depannya dengan bentakan seperti itu, Arrion akan langsung terdiam ketakutan dengan bibir dan dagu bergetar, menahan tangis. Lalu menurut, meski dengan rasa kecewa.

Dan, Arrion tidak akan pernah melupakan hari itu. Karena itu menjadi hari terakhir Arrion melihat Papa dan Mama di rumah.

Setelah sebelumnya, saat luka di lutut Arrion sedang diobati oleh salah satu pekerja dirumahnya, Arrion melihat Papa juga pergi.

Mereka pergi. Tanpa mengatakan akan kemana. Tanpa mengatakan sebentar atau lama. Dan tanpa ... kembali lagi.

Arrion ditinggalkan begitu saja.

Sampai akhirnya, nyaris sebulan setelahnya, Papi—kakeknya—yang baru mengetahui kabar buruk itu langsung mengunjunginya, menjemputnya. Tentu, marah besar saat tahu cucu kesayangannya diperlakukan seperti itu.

PRICELESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang